Sabtu, 24 Januari 2009

Memberi dengan Tulus

Suatu masa pernah terjadi ternak babi (maaf) di Tapanuli Utara (waktu itu belum ada kabupaten Tabasa dan samosir) mati massal, maka banyak ubi rambat (sebagai makanan ternak tersebut) tidak lagi laku terjual. Peristiwa ini menjadi luar biasa, ketika seorang anggota jemaat datang ke rumah Pendetanya di Sarulla, Pahae. Jemaat tersebut dengan kelelahan membawa sekeranjang penuh ubi ke rumah pendeta tersebut dan berkata,”Amang pendeta, adong gadong huboan, loppa hamu asa adong allang-allangonmuna, alana nga mate sude babi nami, dang adong be mangallang”. Karena babinya semua sudah mati maka ia memberi makanan babi tersebut ke pendeta. Waktu saya mendengar cerita itu, puluhan tahun yang lalu dari teman saya, saya tertawa dengan hati teriris.

Suatu hari pada pesta Bona Taon Simanjuntak Sitolu Sada Ina, Boru, Bere, Yogyakarta, ‘marbona taon’ di kaliurang, seorang anggota punguan dari kelompok ibebere memberikan hasil lelangnya (kepala babi), ke suami saya yang kebetulan khotbah di bona taon tersebut, katanya “Amang Pendeta, kata beremu (istrinya), ini untuk amang Pendeta saja, karena di rumah tidak ada yang makan! (daripada dibuang, kasi aja ke Pendeta, hehehe). Saya juga pernah menerima satu tas kresek besar pakaian bekas anak-anak, katanya supaya ada dipakai anak-anak saya di rumah (apa selama ini tidak pakai baju ?!). selain itu, saya juga punya pengalaman memberi, Ketika pegawai negeri menerima jatah beras dari kantor, ibu saya selalau memberi berasnya pada keponakannya. Bila satu kali saya atau adik saya lupa atau terlambat mengantar, dia akan protes dan berkata, ’kenapa berasnya tidak diantar?’, seolah-olah itu kewajiaban kami. Setiap kali ada orang memberi, saya berusaha untuk tidak menolak, karena saya ingat pepatah orang Batak, ;hansit mulak manjalo unhansitan mulak mangalean (=sakit karena ditolak permintaan, lebih sakit bila pemberian ditolak).

Ketulusan sering tidak bisa kita pahami ketika orang memberi dengan kalimat yang menyinggung perasaan. Sejak itu saya selalu mengusahakan diri memberi tanpa kalimat, karena kadang-kadang maksud tulus bisa menjadi tidak berarti dengan kata-kata yang kita ucapkan, maka ketika saya menerima “jambar ni suhut” (ekor daging babi, yang diberi kepada tuan rumah kalau ada pesta), saya ingin menolak karena tidak ada yang makan di rumah, kebetulan ketiga anak saya kurang suka makan daging babi, saya dan suami keseringan makan saksang, apalagi awal tahun seperti sekarang ini. Tapi saya terima juga, kata suami saya, namanya ‘jambar’ ya harus diterima. Maka saya memberi ke salah seorang anggota jemaat dan saya katakan, “ini inang, bawa ke rumah untuk anak-anak”, ibu itu berusaha menolak, katanya, untuk inang Pendeta aja, dan saya mencari kata yang tepat untuk tidak menyinggung perasaan penerima, “saya kurang pintar masak inang, inang yang masak, nanti dibagi untuk kami ya”. Beliaupun menerima dengan gembira dan mengantarkan sebahagian ke rumah! Itulah memberi, mudah tapi sulit. Ketika anak saya Carol mendapat makanan dari teman sekelasnya yang kebetulan ulang tahun, seisi rumah menjadi seperti pecah perang. Dia memberi dengan banyak syarat yang membuat adiknya menangis karena tidak dapat mematuhi syarat tersebut, dan itu membuatku sebagai ibu menjadi naik pitam, karena si bungsu Jerry tidak dapat dibujuk untuk diam, dan Yohana, ikut menangis dengan tangisan adiknya, yang kedengaran sampai ke ruang sermon (kebetulan dinding konsistori, nempel ke dinding rumah kami), sehingga saya harus keluar dari ruang sermon, menghentikan keributan tersebut.

Belajar dari semua peristiwa itu, saya menjadi mengerti, ternyata sangat sulit untuk memberi, padahal Firman Tuhan dalam Lukas 6, 36, “hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu, adalah murah hati”. Murah hati tidak hanya sekedar mau memberi, tetapi harus dengan tulus, tidak ada embel-embel, tidak ada embargo karena melanggar syarat, tidak mengharap balas atas apa yang kita beri, sudahkah kita dapat seperti Bapa di surga? Ditengah-tengah krisis ekonomi, kita dipanggil untuk mendatangkan kesejahteraan orang yang ada disekitar kita, karena dengan demikian kita sedang mengusahakan kesejahteraan kita juga (Jeremia 7,29). Selamat bermurah hati!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar