Kamis, 20 Agustus 2009

LOGOTERAPI

Istilah ini saya ambil dari dua kata yakni, pertama: kata Logos (Yunani: Firman = meaning); suatu kata yang bermakna. Bukan sekedar kata-kata, tapi kata yang berdaya-guna dalam membangun mental dan spritual. Dalam dunia kekristenan logos selalu dipahami sebagai Firman Tuhan yang hidup dan bermakna. Kata kedua ialah therapy: pengobatan jasmani, walau dalam catatan ini saya mau menyorotinya sebagai terapi secara psikis. Maka logoterapi adalah pengobatan jiwa seseorang dengan Firman Tuhan.

Kenapa pemikiran ini ada dalam benak saya. Saya teringat Logoterapi yang diperkenalkan oleh Viktor Frankl, seorang dokter ahli penyakit saraf dan jiwa (neuro-psikiater). Dia seorang bekas korban Nazi Hitler yang ikut ke camp pembantaian. Dia berpikir satu hal, bahwa ketika dia lolos dari camp itu, dia berjanji akan keluar juga dari penderitaan yang dia alaminya. Kalau dia bertahan dengan pengalaman pahitnya, maka dia akan menguahakan bagaimana balas dendam, bagaimana membuat orang lain menderita, sehingga tidak terjadi pertumbuhan. Kesimpulan yang dia ambil, bahwa menjadi hidup bermakna di mulai dari diri sendiri dengan mengeluarkan diri dari penderitaan, dan mau membangun diri dengan melakukan yang baik.

Logoterapi suatu ajaran yang menekankan bahwa dalam keadaan penderitaan sekalipun, hidup kita tetap bermakna, karena adanya dimensi spritual yang membantu kita mengembangkan talenta yang baik yang kita terima. Saya menguji memasukkan ide ini ke pikiran para ibu di persekutuan seksi perempuan gereja kami. Saya mau membangun sebuah jiwa yang disirami firman Tuhan dalam mengatasi persoalan, sehingga bisa keluar dari persoalan masuk ke suatu pemahaman yang terbuka untuk mau berlaku baik. Bagaimana hidup itu bermakna dengan menyadari bahwa sumber-sumber dan potensi itu sering ditekan, terhambat dan diabaikan bahkan terlupakan; tetapi memanfaatkan daya-daya tersebut untuk bangkit kembali dari penderitaan untuk mampu tegak kokoh menghadapi berbagai kendala, dan secara sadar mengembangkan diri untuk meraih kualitas hidup yang lebih bermakna.

Ketika para ibu membahas Matius 5,1-12 : khotbah di Bukit yang terkenal itu, saya melihat para ibu yang tidak mau keluar dari persoalannya, sehingga melihat bahwa delapan kata bahagia di kitab ini, seolah-olah hanya utopia, yang sangat sulit dilakukan dalam keseharian. Dan kalaupun sebuah kenyataan, baiklah orang yang melakukannya.
Pak pendeta membuat sebuah pertanyaan, ‘apakah yg paling sulit dilakukan dari kedelapan perkataan ini?’
Seorang ibu menjawab: ‘membawa damai’ dengan alasan bahwa ketika kita ingin berdamai, ada aja orang yang membuat kita marah, maunya orang lain itu tidak memancing kemarahan kita, sehingga damai bisa terwujud.
Seorang ibu lain berkata: ‘lemah-lembut’: tidak gampang marah atau tidak pernah marah. Seorang yang lemah lembut, tidak marah ketika ia diberlakukan dengan tidak adil, tetapi dia akan marah kalau orang lain mengalami ketidak-adilan. Kata Yunani yang dipakai Yesus untuk kata ini adalah praus:kekang kuda, kadang dapat lari kencang, tapi terkendali. Marah itu bisa, tapi tidak gampang. Ibu ini berkata, belum dianiaya, hanya disinggung sedikit, kita sudah marah luar biasa, tapi kalau teman kita menerima ketidakadilan, kita diam saja. Kalau bisa janganlah gampang marah, tapi marah tepat pada waktunya.
Seorang ibu lain, yang gampang marah berkata, ‘itu benar, kalau kita bilang sesuatu di kumpulan ini jangan terus marah lah’, dengan suara yang marah dan mimik yang marah pula. Disebalah kanan ibu itu meneruskan, ‘perlu kita memperkecil masalah dengan melakukan firman Tuhan supaya kita tidak mudah marah’. Padahal baru beberapa hari lalu dia membuat marah semua anggota punguan, karena dia membuat pengumuman menghadiri suatu acara, tapi dia tidak hadir dan tidak ada berita, di mana dia.


Saya tidak dapat menjelaskan cara bicara dan mimik para ibu itu satu persatu secara detail, tapi ada sesuatu yang tidak tepat dengan apa yang mereka katakan, setiap pernyataan, ada muatan untuk mencela orang lain. Setiap kata-kata diharapkan dilakukan oleh orang lain, bukan dari diri sendiri. Ada masalah pribadi yang dikaitkan dalam Penelahan Alkitab ini, dan memakai Firman Tuhan untuk membela diri dan menyalahkan orang lain. Luar biasa kalau firman menjadi senjata melawan musuh, kalau firman menjadi alat menekan teman yang berbeda ide.


Ketika saya melihat sumbu yang makin pendek, saya menerangkan ide tentang logoterapi, suatu cara memahami firman dengan memulai dari diri sendiri. Ketika orang mencaci kita, kita harus mengingat bahwa kita akan disebut anak-anak Allah karena membawa damai. Itu berarti, bukan orang yang mencaci atau membuat keributan itu yang disebut anak Allah.

Saya usulkan obatilah lukamu, obatilah dendammu, obati sakit hatimu dengan terus belajar firman Tuhan dan mulai melakukannya sedikit demi sedikit, sehingga pada akhirnya kita menjadi terbiasa menerima firman untuk membangun diri kita bukan menuding bahwa firman itu ditujukan pada orang lain.


Pak Pendeta mengambil contoh mengenai tetangga sebelah gereja kami yang sedang merehab rumahnya. Sudah hampir satu bulan. Mereka membiarkan semen, pasir dan debu mengotori lantai tempat menyuci pakaian kami. Ketika tukang cuci protes, dia dibentak pemilik rumah itu, maka setiap hari tukang cuci mempunyai tugas tambahan membersihkan batu-batu kecil, semen, debu, dan pasir yang mengotori lantai. Tadi pagi waktu mereka memasang peralatan tukang untuknaik ke atas di tempat biasa kami menyuci untuk memelester dinding rumahnya, istri saya mempertanyakan: ‘terus kami gimana nyucinya’ mereka marah dan mengacam istri saya dengan mempersoalkan bahwa talang gerejapun sudah melewati batas tanah gereja. Saya melihat ada ketidakadilan terhadap istri saya. Pemilik rumah menjadi tidak bebas di rumah sendiri, dan tanpa permisi memakai bagian rumah kami, kecuali pemberitahuan bahwa mereka mau mengerjakan dinding rumah. Istri saya diperlakukan dengan tidak adil, saya mau marah dan berencana melempar semua tangga-tangganya ke luar dan tidak boleh bekerja dari pekarangan kami. Tapi karena saya mempersiapkan khotbah ini sebelumnya, saya jadi ingat firman Tuhan, saya mencoba bermurah hati dan lemah lembut. Begitu mereka selesai, saya menyapa : ‘loh sudah selesai toh mas, cepat bangat?’ Tukan itu berkata, tadi istrinya ga bolehin kami memasang tangga ini. Lalu saya berkata: ‘Saya tanya, kog cepat selesai dengan hasil yang begitu bagus’ maka mencairlah kebekuan. Mereka tersenyum, dengan sukacita mereka membersihkan semua lantai tempat nyuci dan permisi ketika hendak pulang.
Itulah ide logoterapi yang mau saya tawarkan, mengobati diri dengan firman, di mana firman itu menjadi suatu yang pragmatis, bukan hanya teori. Dan firman itu dilakukan bukan untuk diri sendiri, tetapi firman yang menjadi sikap hidup, di mana cara pandang, cara pikir dan cara kerja kita telah digarami firman Tuhan, sehingga membuat orang lain, bahagia tidak tersandung dengan cara hidup kita.

Ada yang mau mencoba terapi ini? Saya akan memulai dari diri saya, semoga yang lain boleh ikut.....


Selamat hidup baru!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar