Sabtu, 07 Maret 2009

Open House

Hari ini Yayasan Pendidikan Kristen Darma Mulya, Surabaya mengadakan open house mulai dari PG-TK-SD dan SMP. Kebetulan ketiga putri-putra saya sekolah di yayasan ini. Carol ikut paduan suara, Jerry menari dengan kostum angsa putih. Yohana tidak ikut mengisi acara, tapi dia yang paling siap untuk mengikuti acara ini (hehehe). Karena kegiatan ini, satu rumah kami berangkat pagi-pagi ke sekolah, bahkan si bulik juga harus meninggalkan tugas-tugasnya, karena pagi-pagi dia harus datang untuk menonton para keponakan berakting. Ketika anak-anak PG sedang menari, saya melihat semua orang tua siswi dan siswa terfokus ke putra-putri mereka. Tak seorang pun melirik anak orang lain, wah... luar biasa! Saya melihat para orang tua dengan tawa bahagia menyaksikan anak-anaknya, meskipun anaknya melakukan kesalahan-kesalahan kecil. Semua mengancungkan jempol ke anak masing-masing, bahwa papa-mamanya bangga pada anak tersebut. Tarian potong bebek angsa yang sederhana, tapi cukup inovatif bagi orang tua. Saya bahkan berpikir, tidak rugi menyekolahkan anak PG dengan biaya mahasiswa Negeri, kalau toh punya kemampuan sehebat itu, bahkan ada orang tua yang kerja di luar pulau jawa harus bela-belain pulang untuk menyaksikan tarian putri sulungnya. Nah... kalau sudah anaknya tampil, tidak ada lagi mama yang marah karena anaknya nangis di tinggal, tidak ada lagi mama yang cerewet karena anaknya tidak tahu angka tujuh. Tidak ada lagi papa yang jengkel karena anaknya nangis rebutan mainan. Semua penuh tawa dan bangga pada anak-anaknya, kecuali guru tari mereka yang marah dan mencubit putranya karena ga mau ikut nari, katanya takut dan minta dipangku mbah kakung. Wah... saya juga pernah marah seperti itu, ketika Yohana berusia tiga tahun yang sudah pintar menghapalkan nats alkitab untuk diucapakan pada pesta natal anak-anak Sekolah Minggu di HKBP Magelang. Dia tiba-tiba mogok dan berputur-putar, katanya dia malu, saya sampai bujuk-bujuk dari kursi paling depan sambil mengajarnya denga saura agak kencang, bahkan papanya turun dari kursi pengkotbah untuk emmbujuk sang putri, tetap saja aja hanya berputar-putar sambil memilin-milin gaunnya, padahal dua hari sebelumnya dia sudah ‘pajojorhon’ di HKBP Salatiga (waktu itu kami masih tinggal di Salatiga karena saya sedang study, dan pelayanan suami saya di Magelang). Bayangkan kalau anak guru tari tidak mau menari dan anak pendeta tidak mau mengucapkan ayat hapalannya. Piye toh!? Tapi itulah anak, terkadang kita jengkel, marah dan cemberut oleh tingkah mereka, tapi paling banyak orang tua mengalami kegembiraan karena anak-anak mereka. Terkadang lucu, menggemaskan, baik dan pintar. Dan acara hari ini membuat saya merasa bangga sepanjang hari, apalagi ketika kami diperiksa Carol yang menjadi menjadi dokter cilik pada acara itu, mengukur tensi orang dewasa dan menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan anak-anak. Carol bilang mama 100/70; bulik 90/70, dan itu tanda-tanda kurang makan. Normalnya harus 120/70, lebih dari itu kebanyakan makan. Itulah konsepnya sebagai dokter cilik tentang tekanan darah, meskipun pemahamannya sederhana, tapi sebagai orang tua, kami sangat bangga, sepertinya putri sulung kami itu sudah menjadi dokter beneran, Segitu aja lagi! Akhirnya, saya menjadi semakin kagum pada komponis besar orang Batak Nahum Situmorang, yang dengan tepat menggambarkan perasaan orang tua dengan berkata: “anakhonhi do hamoraon di au”. Saya menjadi ingat, apa yang selalu dikatakan suami saya dalam khotbah atau percakapannya tentang anak, bahwa ‘dari mulut nereka pun, orang tua siap menarik anaknya supaya selamat oleh cinta kasih terhadap anak-anaknya”. Ini selalu menjadi renungan bagi kami, karena kami pernah bertemu dengan orang tua yang harus pindah dari Subang ke Salatiga untuk mengurus anaknya yang gagal menamatkan studi S1 karena tertangkap sebagai pengedar narkoba. Setelah terbukti tidak bersalah dengan uhasa keras orang tua mencari pengacara, orang tua mengadakan ibadah syukur. Tapi tidak berapa lama kemudian, kembali dia membela anaknya dengan menjual hartanya agar anaknya mendapat hukuman yang lebih ringan, karena tertangkap lagi dengan kasus yang sama dengan bukti-bukti. Betapa banyak orangtuanya menjual nyawa untuk hidup anaknya, tapi anak tidak peduli. Sebaliknya, Allah bukan membela AnakNya, tapi memberi AnakNya bagi kehidupan kita dan anak-anak kita. Itulah kasih Allah pada dunia ini. KasihNya benar dan Allah tidak pernah salah bertindak mengasihi kita. Selamat mendidik putra-putri anda dalam kasih Kristus!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar