Kamis, 05 Maret 2009

Kisah nyata yang menggelitik

- Dalam tradisi Lutheran, setelah Minggu Invokavit (Bila ia berseru kepada-Ku, Aku akan menjawab : Mzm 91:15a), biasanya orang-orang kristen melakukan puasa. Tetapi tidak seperti puasa Yesus selama 40 hari, empat puluh malam. Orang kristen cukup berpuasa dengan mengurangi jatah makan sampai pada jumat agung. Kalau biasanya makan tiga piring nasi untuk seseorang, maka pada minggu-minggu penderitaan ini, seseorang boleh mengurangi setengah dan sisanya ditabung untuk diberikan pada orang miskin. Waktu saya katakan ini pada adik saya meli, diabilang itu tradisi katolik. Itu memang benar, waktu saya SMU di SMUK Cahaya Medan, saya sudah ikut berpuasa sesuai dengan program sekolah yang berlatar belakang katolik. Tapi, kekristenan pun punya tradisi yang sama dalam berpuasa ini. Karena kebetulan tahun ini adalah tahun Diakoni di Gereja HKBP, maka saya mencoba menerapkan pada anak-anak saya, supaya sejak dini mereka sudah mengerti penderitaan Yesus dan mau berbagi bagi sesama. Sebelumnya saya menerangkan makna puasa, dengan menyederhanakannya supaya pikiran anak-anak mereka dapat menjangkaunya. Jadi dalam segala hal harus ada pengekangan diri, mengurangi jatah makan, jajan, bahkan amarah juga harus dikurangi. Keesokan harinya, ketika saya menyuap anak-anak serapan pagi, putri sulung saya agak ogah-ogahan, dia tidak menghiraukan panggilanku, karena matanya melotot ke spacetoon. Suara saya sedikit agak meninggi memanggilnya sambil mematikan TV anak tersebut, dia marah dan berkata, ‘aku moh makan’. Tiba-tiba adik bilang:’tenang-tenang, kita lagi puasa, kurangi setengah marahnya, bagi sama orang miskin!’. Sambil tersenyum saya bilang; kog marah dibagi sama orang miskin sih?’ dan kami pun tertawa bersama.

- Kemarin malam, saya memimpin ibadah sektor. Biasanya dalam ibadah ini, tuan rumah menyediakan makan malam dan setelah makan, masih ada waktu sekitar setengah jam bercerita menunggu pengumunan. Ketika sedang bercerita, salah seorang bapak bercerita tentang dua saudara perempuannya. Salah seorang saudarinya sedang sakit di kampung. Waktu itu saudara perempuan yang satu sedang mengunjunginya dan hendak pulang. Bapak tersebutpun menitipkan uang untuk menambah biaya obat saudara mereka yang sakit. Namun setelah sampai, titipan itu tidak langsung diberi, sehingga sebelum titipannya sampai ke tujuan, si sakit meninggal dunia. Ketika mereka bertemu di depan jenazah, bapak tersebut, bertanya: ‘ai saut do dilean ho hepeng ito?’ (uang titipan saya jadi diberikan?) saudaranya tersebut sedikit gugup dan takut, maka secara spontan dia jawab: ‘saut’ (jadi). Ketika peti mayat hendak ditutup, adik almarhumah tersebut memasukan envelope berisi uang ke bawah mayat sang kakak. Ternyata sikap itu agak mencurikan istri si Bapa itu, sehingga dia bertanya pada iparnya, ‘apa yang eda masukan ke peti jenazah itu?’ lalu dia menjawab ‘uang yang dulu dikirim ito’. Hahaha.. ternyata ibu itu takut kalau sampai roh dari yang meninggal meminta uang kiriman saudaranya.

- Saya jadi ingat cerita lain yang juga menggelitik hati. Waktu itu kami masih tinggal di Terutung, karena suami saya ditempatkan di Biro Informasi kantor pusat. Putri sulung saya masih berusia 3 tahun. Dia sedang menunjukkan kebolehannya dalam bidang bernyanyi. Suatu hari kami sedang berkunjung ke rumah Pendeta Resor Pearaja Tarutung, waktu itu pendetanya, Pdt. Sihar Marpaung. Pendeta itu memintanya untuk bernyanyi. Tiba-tiba dia bernyanyi dengan riang:’Burung bapatua...” gerrrr, tawa kamipun meledak, karena kata kaka diganti menjadi bapa. Dia hanya tahu kata bapa (sebutannya untuk Pdt tersebut), sementara kata kaka belum dia pahami, karena dia tidak punya kakak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar