Jumat, 20 Februari 2009

Markus 8, 31-38 :"Menyangkal diri, Memikul Salib dan Mengikut Yesus"

1. Sebuah nyanyian dari BE (Buku rohani berbahasa Batak) mengatakan: ngalut ni ngolungki di portibion, parsahiton, sidangolon jambarhi o hajolmaon, di portibi on, di portibi on. Lagu ini menggambarkan bahwa hidup di dunia adalah penderitaan. Berjalan bersama Yesus, tidak menjamin kenikmatan dunia, itu sebabnya Yesus menjawab pernyataan orang yang mengatakan “aku mau ikut kau” dengan jawaban yang keras, “serigala mempunyai liang, burung mempunyai sarang, tapi anak manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepalanya” (Luk 9, 58).
2. Meskipun tidak ada jaminan secara duniawi bagi yang mengikuti Yesus, tapi Yesus menolong kita dari penderitaan, sebab karena dosa kita, Allah menahan rasa nyeri, menderita dan bertahan untuk membawa manusia ke dalam kehidupan yang benar. Ungkapan yang digunakan bahasa Inggris lama disebut long suffering, penderitaan yang panjang, atau yang lazim disebut kesabaran. Kesabaran sebuah bentuk penderitaan. Jürgen Moltmann, di dalam bukunya, The Crucified God, mengatakan bahwa "The cross is not and cannot be loved. Yet only the crucified Christ can bring the freedom which changes the world because it is no longer afraid of death." Moltmann menegaskan bahwa kebebasan dari dosa yang kita rasakan itu harus didahului oleh salib. Penderitaan manusia berakhir dalam salib Kristus.
3. Pengalaman penderitaan inilah yang diajarkan Yesus pada murid-muridNya. Menderita, ditolak bahkan dibunuh. Dalam keadaan dunia seperti ini sulit sekali untuk menerima pemberitaan Firman Tuhan tentang salib atau penderitaan. Maka Petrus pada zamannya pun menolak penderitaan itu, sehingga ia menarik Yesus keluar dari kumpulan itu dan menegorNya. Yesus menanggapi sikap tersebut dengan mengatakan, “Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia." Yesus hendak mengatkan bahwa Allah mempunyai perspektif yang berbeda dengan manusia.
4. Di tengah kehidupan ini, banyak orang yang menolak penderitaan, tidak ingin bersama Yesus yang menderita, tapi mau menikmati berkat yang melimpah dari Yesus yang menderita. Saya teringat sebuah cerita yang tidak tahu darimana sumbernya. Menurut cerita tersebut, bahwa di sebug desa ada tradisi, bahwa jika seorang pemuda hendak melamar seorang gadis, akan membawa seekor kerbau tambun yang tanduknya lurus menjulang ke atas. Jika kerbau ini diterima, itu berarti bahwa lamarannya diterima. Ketika seorang pemuda pulang dari desa itu tanpa seekor kerbau, semua anggota keluarga bersorak menyambut pemuda tersebut. Tapi mereka heran karena wajah pemuda itu muram. Mereka bertanya, ‘mengapa muram, bukankah lamaranmu telah diterima?’ pemuda itu menjawab, ‘lamaranku tidak diterima, tetapi kerbauku diterima’.
5. Demikianlah kita memahami Yesus. Kita menolak menderita, tapi kita menerima pemberiaanNya. Bahkan kita sering muncul sebagai pembela Tuhan, seperti Petrus agar berlalu rasa pedih dari kehidupan Yesus. Pada kategori ini, banyak yang menolak ajaran Yesus, tentang penderitaan, apalagi jika harus hidup memikul salib. Itu sebabnya akhir-akhir ini, trend bagi warga jemaat mendengar khotbah bermuatan kesuksesan, sukacita, suatu teologia yang membawa pada masa depan yang cemerlang bukan pada jurang penderitaan. Muncullah badut-badut mimbar, pengkhotbah yang laris karena khotbahnya lucu dan menghibur serta penuh dengan janji-janji kesuksesan secara materi. Jemaat hanya disuguhi cerita yang membuat terpingkal-pingkal karena jemaat sudah bosan menderita, mereka perlu penghiburan.
6. Ketahanan, kesabaran atau long suffering sudah mulai memudar dari diri manusia dewasa ini, tidak lagi bertahan dengan yang sulit dicapai, semua ingin serba cepat, tidak mau capek lagi. Perkembangan tekhnologi yang semakin canggih membuat manusia lebih suka yang instan daripada alami, instan membuat kurang ketahanan. Ingin cepat kaya, halalkan segala cara, bosan kalau harus memulai dari awal. Tanpa sadar manusia sudah menikmati yang instan, tidak mau berjuang, padahal Yesus mengatakan itu iblis.
7. Tidak hanya manusia atau warga gereja yang tidak punya daya juang, bahkan Yesus pun ‘diajak’ untuk tidak mau menderita. Petrus yang mewakili murid-murid Tuhan Yesus pun kecewa dan menolak ketika Tuhan Yesus memberitahukan bahwa Ia harus menempuh “jalan salib”. Mereka tidak mengerti mengapa Tuhan-Nya mau membiarkan diri-Nya menanggung sengsara dan menderita serta rela mati di atas kayu salib. Cara kematian yang dianggap hina dan terkutuk.
8. Di saat dunia mencari Mesias politik dan siap memberi kuasa dan wibawa untuk memerintah, tetapi Allah datang dalam diri Yesus sebagai Mesias yang menderita. Tentu Petrus merasa malu dengan kenyataan ini, sehingga mencoba membujuk Yesus agar undur dari salib. Tetapi Yesus memarahinya dengan mengatakan ‘enyahlah iblis!’ Betapa para murid terbungkus dalam pengharapan-pengharapan kemuliaan yang melampaui penderitaan di depan. Disinilah letak kurangnya pemahaman dan pengenalan serta kegagalan mereka dalam mengikut Yesus.
9. Penderitaan; via dolorosa tidak hanya berlaku pada masa Yesus, tapi juga pada masa kita, di abad modern ini. Bila Yesus mengatakan pada muris-murid, itu juga perkataan buat kita pada saat ini, bahwa "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku (ay. 34).
10. Ada yang tiga syarat menjadi pengikut Yesus: Menyangkal diri, Memikul Salib dan Mengikut Yesus. Ini syarat tapi bukan paksaan. Pengambilan keputusan harus dengan konskwensi. Kata ‘yang mau’ berpadanan dengan kerelaan. Bila telah rela maka harus melakukan ketiga hal tersebut. Jadi ikut bukan supaya kaya, supaya sukses, supaya terberkati, tapi ikut perlu penyangkalan diri; merendahkan hati, meniadakan keberadan kita untuk kehidupan orang lain. Penyangkalan diri merupakan sebuah sikap yang diwujudkan dalam sebuah tekad, keinginan, dan keberanian diri, untuk tidak lagi melakukan atau menghadirkan dalam benak pikiran maupun isi hati, berbagai perilaku atau pola pemikiran yang hanya ingin menyenangkan hati atau diri sendiri. Menyangkal diri melampaui diri sendiri untuk siap berkorban bagi yang lain
11. Itulah yang dikatakan oleh seorang teolog Jepang Kosuke Koyama dalam bukunya ‘tidak ada gagang pada salib’, bahwa mengikut Yesus, berarti berjalan di salib. Salib bukan tas, rantang makanan atau ember yang punya gagang dan bisa ditenteng, tapi salib tidak punya gagang harus dipikul, maka ikut Yesus bukan berarti jalan kita menjadi mulus tanpa penderitaan, sebaliknya salib adalah penderitaan.
12. Seraya kita melintasi jalanan panjang menuju surga, kita memikul salib kita. Kita tidak mungkin memikul salib sambil korupsi, sambil menghalalkan segala cara. Coba kita bayangkan, jika kita memikul salib, di tengah jalan karena lelah kita memotong sedikit, lalu kemudian kita potong maka pada akhir perjalanan kita yang kita pikul bukan lagi salib, tapi hanya potongan kayu. Tentu kita tidak ikut masuk ke pesta sukacita tanpa salib yang utuh, tanpa salib yang tak bergagang.
13. Tak seorangpun yang yang dapat menyelamatkan nyawanya sendiri, tetapi yang kehilangan nyawa karena injil, karena konsisten di jalan salib akan mendapatkan nyawa itu, karena yang punya nyawa kita adalah Allah dalam diri Yesus yang menderita untuk kehidupan kita.
14. Selamat menderita bersama Yesus, selamat berjalan di jalan salib, Tuhan Yesus memberkati. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar