Selasa, 07 April 2009

Yohanes 19, 23-30

Salib dan kepedulian Sosial

Khotbah Jumat Agung

  1. Yesus memberi diri ke dalam hukuman salib, bagai seorang pesakitan karena kesalahan. Dia dihina sebagai penjahat yang paling hina. Yesus melewati penghukuman itu, meskipun salib merupakan hukuman paling nista, tapi pilihan keji itu menjadi keputusan Allah untuk memberi jaminan bagi umat ciptaanNya. Dia menanggung beban Salib, sehingga manusia yang berdosa mendapat pemulihan pada kesempurnaan ciptaan sebagai pewaris kerajaan Allah. Melalui Salib yang ditanggung Yesus, ada jalan menuju kehidupan kekal. Dia mempertaruhkan nyawaNya karena kesetiaanNya pada Allah, Dia mempertaruhkan nyawaNya karena salib, bahkan Dia menjadikan diriNya bahan cercaan untuk manusia agar kemuliaan Allah tinggal dalam diri manusia.
  2. Prajurit yang mengawal Yesus ke tempat hukuman mati membagi-bagi hartanya, seperti sepatu, ikat kepala, ikat pinggang, baju dan jubah luar. Tetapi karena pengawal biasanya empat orang, maka jubah luar Yesus yang tidak dijahit (khusus pakaian Imam), menjadi bahan perdebatan siapa yang berhak memilikinya. Keputusan dilakuan melalui undi (judi) sebagai cara prajurit itu membagi jubah Yesus, sebab jika dibagi empat tidak berguna. Betapa sering terjadi ketiadaan perasaan manusia terhadap sesama. Di saat orang sedang menderita ada dari sesamanya, memakai penderitaan itu untuk mencari keuntungan, tidak peduli apakah melalui judi. Prajurit itu melempar undi ke atas, padahal di sana Yesus memberikan nyawa untuk kejahatan mereka. Di kayu salib Yesus mengalami penderitaan yang terdalam, di kaki kayu salib prajurit itu membuang undi, seolah-olah apa yang dialami Yesus, bukan apa-apa. Sikap manusia hanya memikirkan keuntungan. Walau dihadapannya Yesus sedang mempertaruhkan nyawa, penuh darah, mereka tidak peduli. Itulah orang yang hanya memikirkan untung. Setelah Yesus disalibkan, sesudah hak seseorang dibungkamkan, hak milik Yesus dibagi-bagi.
  3. Injil Yohanes memahami perbuatan ini sebagai penggenapan kitab suci seperti yang dia kutip dari perkataan pemazmur bahwa, "Mereka membagi-bagi pakaian-Ku di antara mereka dan mereka membuang undi atas jubah-Ku." (ay.24; bnd. Mzm 22, 19). Kutipan ini sebagai bentuk kritisi Yohanes pada umat manusia yang sering kehilangan simpati (Sun=bersama-sama; Pathos= menderita), karena telah mengalami kerusakan sebagai ciptaan Allah, yang pada awalnya diciptakan tanpa terbatas, tetapi oleh dosa Adam dan Hawa menjadi terbatas, sehingga sulit memahami pengalaman penderitaan orang lain. Itulah cara Yohanes menggambarkan karakter manusia, yang tidak peduli, tidak tolerans, karena lebih mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentinga bersama. Manusia hanya mencari apa yang menguntungkan baginya, tanpa peduli bahwa keuntungan itu bisa merusak hidup orang lain. Saya mengenal beberapa orang yang hanya menjelek-jelekkan temannya supaya dia mendapat di hati orang lain. Itulah gambaran prajurit yang hanya mencari untung di saat Yesus berkeringat darah oleh penderitaan yang dialamiNya.
  4. Tetapi Yesus adalah kebalikan dari karakter manusia. Di saat Dia sedang dalam keadaan sekarat memperjuangkan keselamatan dunia, Dia juga memikirkan kesepian Maria, ibuNya. Dia tetap punya kepedulian atas kehidupan dan kesejahteraan umat manusia. Di saat Dia telah kehilangan daya, saat dia tidak dapat menghapus air mati perempuan-perempuan yang dekat-dekat ke salibNya, termasuk Maria, ibuNya, Dia meminta tugasNya sebagai anak dipikul oleh murid-muridNya agar menerima Maria, ibuNya ke rumahnya. Dia ingin memulihkan perasaan sakit seorang ibu, yang sedang menjerit dengan duka yang dalam melihat anaknya tergantung di kayu salib, dengan berkata: "Ibu, inilah, anakmu!" dan kepada muridNya dikatakan: “inilah ibumu!”. Di atas kayu salib dia berpisah dengan ibuNya, perempuan yang dikasihi dan mengasihiNya, bukan di bandara atau di terminal, tapi di tempat yang bukan bagian dari harapan siapa pun. Bagaimanakah hati lembut seorang ibu dengan pengalaman pahit itu? Siapakah yang dapat menyembuhkan luka batin eorang ibu jika bukan seorang anak? Maka Yesus berinisiatif membalut luka ibuNya, dengan berkata: ‘Ibu, inilah anakmu!’
  5. Di atas kayu salib, di puncak penderitaanNya, menjelang kematianNya, Yesus menunjukkan perhatian dan kepedulianNya pada Ibu yang menahan derita, dengan mengucapkan dua kata tersebut. Perkataan ini bermuatan untuk mendegarkan perasaan pilu seorang ibu yang kehilangan anak. Dia memahami bentuk cinta kasih yang begitu murni dari seorang ibu. Maka dia menugaskan muridNya membentuk keluarga baru bagi sang ibu, karena Yesus tahu bahwa keluarga sangat penting bagi kehidupan seseorang, untuk bertukar pikiran, berbagi kasih dan teman dalam suka dan duka. Betapa ibu akan merasa tidak berarti jika seorang anak yang berusia 33 tahun dan belum menikah harus mati dengan cara yang mengenaskan.
  6. Saya jadi teringat baru-baru ini dengan seorang ibu di mana anak lelakinya yang baru menikah meninggal karena obesitas. Ibu itu tak henti-hentinya menangis, bahkan beberapa kali pingsan oleh kepedihan yang dalam. Ibu itu sangat menderita, karena dia belum punya cucu dari anak lelakinya itu, tiba-tiba dia harus kehilangan penerus garis keturunannya. Kematian yang wajar saja, kadang-kadang tidak dapat diterima akal, apalagi jika itu kematian yang sering ditolak orang, karena kematian seperti itu hukuman bagi penjahat yang sangat hina? Jika hukuman mati itu bukan karena kesalahanNya, tapi karena kesalahan orang yang menghukumNya. Mungkin Maria tidak mengerti peristiwa tersebut, tetapi dia dapat mengasihi. Kehadirannya di tempat itu sebagai bentuk, betapa dia sangat mengasihi Yesus. Dia tidak peduli, kalau mungkin ada hukuman bagi yang mengikut Dia ke Golgata. Bagi Maria, dia ingin dekat-dekat pada Yesus, sampai Dia mengakhiri hidupNya. Ingin menyaksikan hembusan nafas Yesus yang terakhir. Untuk cinta itulah Yesus membuat keluarga baru, agar ibuNya, tidak kehilangan keluarga sebagai unit terkecil dari Gereja Tuhan.
  7. Di samping itu, Yesus juga meminta Maria agar menerima murid itu sebagai anak. Meskipun Maria masih mempunyai anak kandung (Markus 6,3), tapi Yesus ingin mempertemukan murid kepada Maria, agar kebutuhan spritual Maria terpenuhi bersama muridNya yang meungkin sudah terlatih secara spritual menghadapi masalah. Artinya Yesus membentuk keluarga Allah, komunitas dalam ikatan darah Kristus (Bnd. Perjamua Kudus: Roti dan Anggur, memampukan umat percaya saling menerima, saling mengampuni dan hidup rukun dalam ikatan darah kasih Yesus). Yesus ingin membangun komunitas yang baik antara Maria, murid-murid dan perempuan lainnya yang ikut serta ke medan perjuangan Yesus. Sangat menarik, saat Yesus sedang berjuang untuk keselamatan dunia, Dia juga memikirkan kebutuhan sprtiual muridNya, Dia memikirkan kesepian ibuNya. Itulah salib, di dalamnya ada kepedulian, di dalamnya berjalan terus cinta kasih..
  8. Setelah Yesus menyelesaikan tugasNya sebagai Anak, Dia tahu waktuNya telah tiba, Dia pun akan menyelesaikan tugasNya sebagai pejuang umat. Dia akan meneruskan tugas itu, sehingga dia mengucapkan kata-kata terakhir dari tujuh perkataan di kayu Salib: ‘aku haus’ dan ‘sudah selesai’. Yohanes mencoba menghadap-mukakan kebenaran pada umat bahwa Yesus adalah manusia 100% dan Allah 100%. Dalam kemanusiaan Yesus lah Dia mengatakan ‘aku haus’. Penderitaan, panas terik, keringat darah tentu akan kehilangan banyak air dari tubuh seseorang. Dengan tubuh yang menderita, Yesus mengatakan ‘ aku haus’. Teriakan itu sebenarnya teriakan orang berdosa, tetapi yesus mengambil-alih tugas kesakitan itu untuk menebus dosa dunia. Meskipun perkataan ini penggenapan kitab suci dari pemazmur (69,22), tetapi Yohanes ingin menggambarkan bahwa dalam kamanusiaanNya yang 100% manusia itulah, Yesus membawa kelepasan bagi dunia.
  9. Jadi, tidak alasan bagi umat percaya berkata, bahwa kami adalah manusia, tidak sanggup melakukan kasih, pengampunan dan damai sejahtera. Yesus juga melampaui banyak penderitaan, bahkan hukuman yang paling naas dalam kemanusiaanNya. Dia mati dalam tubuh manusia, Dia menahan beban dunia sebagai manusia dan itu dilakukanNya demi pengampunan bagi umat manusia.
  10. Rasa hausNya tidak dijawab dengan seteguk air putih, atau es teh, tapi sebatang karang yang dicelupkan ke anggur asam, dan diberi dengan sebatang hisop. Jadi Yesus dalam kemanusiaanNya mengalami serangkaian penderitaan hingga akhir hidupNya. Itu berarti, Yesus hendak mengajarkan bahwa penderitaan jangan membuat kita jatuh dalam dosa. Penderitaan jangan memperparah hubungan kita dengan orang yang pernah menyakiti kita, tetapi penderitaan akan membuat kita semakin kuat melakukan kepedulian sosial, memperjuangkan keadilan dan kebenaran, karena untuk itulah Yesus mati, dan ke sanalah kita terpanggil.
  11. Kalau Yesus menyelesaikan semua dengan kata :’sudah selesai”, bukan berarti semua tutup. Tugasnya sebagai manusia boleh selesai di dunia yang fana ini, tapi kita terpanggil meneruskan perjuangan Yesus, meneruskan kebenaran, keadilan dan kepedulian. Kitalah alat kasih Tuhan memberi makna pada salib Yesus. Kitalah umat Tuhan yang berjuang untuk kedamaian dunia, sebab salib Yesus bukan sekadar alat penghukuman, tapi salib itu hendak menyampaikan: darah Yesus yang tercurah di atas salib Golgata, telah membersihkan dosa kita, tubuh Yesus yang mati di atas salib Golgata, sebagai ganti kematiaan kita. Maka salib itu terus berteriak, ‘berjuanglah, berjuang untuk keadilan, berjuang untuk kebenaran!’, selamat memikul salib, Tuhan beserta kita, Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar