Kamis, 28 Januari 2010

Persahabatan

Pukul enam pagi. Dua wanita bermantel sedang berjalan-jalan di pagi hari. Mereka berjalan kaki sambil mengobrol tentang persahabatan dengan orang-orang penting dalam hidup mereka: suami, anak-anak, teman kerja. Sesekali mereka saling menepuk bahu, menghentikan langkah, saling memandang, lalu tertawa. Seorang lelaki tua, berusia sekitar tujuh puluhan, memakai topi ski oranye menyala, berjalan melewati kedua sahabat itu, tersenyum dan berkata, 'kalian seperti sedang menari ballet bersama.' Memang benar, sabagi sahabat, mereka menari dalam harmoni, saling mendengarkan, menguatkan dan memberi masukan. (Anonim. Dari In the Company of friends).

Hidup adalah perjalanan dalam membangun persahabatan.
Saya membangun pesahabatan dengan memulai perjalanan dari kota kecil yang cantik di tepi danau toba. Saya mengelilingi Pangururan dari sejak lahir hingga menamatkan SMP. Bermain air di danau toba, mendaki ke perbukitan, berlari-lari ke aek rangat, keliling samosir dengan naik kapal. Dari Pangururan yang teduh (tapi tidak lagi untuk sekarang), kuteruskan perjalananku ke Medan membangun asa di SMA K Cahaya. Masa remaja yang penuh perjuangan, tanpa ayah dan ibu. Tanpa prestasi yang luar biasa, aku berjalan menuju STT_HKBP Pematangsiantar. Membangun hidup dengan belajar berbagi. Asrama putri STT-HKBP, mengalahkan ego untuk boleh menetapakn langkah yang seirama dengan yang lain.
Ada banyak orang yang singgah, pergi, kembali dan tak pernah bertemu dalam kurun waktu itu. Tetapi ada juga yang tinggal dan melekat di hati untuk seterusnya. Ada yang menorehkan luka, tapi lebih banyak meninggalkan suka, dengan berbagi cerita, saling menepuk bahu, saling memandang lalu tertawa. Ada yang pergi selamanya, ada yang menemaniku sepanjang hari dalam tawa dan tangis. Pematangsiantar bukan tempat perhentian. Di Sibolga Nauli aku mulai tugas pengutusan, sesuai dengan SK penugasan. Di sana saya kadang tertawa, kadang senyum, tapi juga menaham banyak hal yang tidak kusukai, sampai akhirnya aku harus meneteskan air mata, karena harus meneruskan langkah ke Padalarang, Bandung. Menikmati aroma yang berbeda,tapi tetap dengan tawa dan canda, tetap dengan siklus perjalanan seorang anak manusia. Di Tanjung Medan, Tano Tombangan, Padangsidempuan, mengubahku untuk lebih dewasa memaknai hidup. berhadapan dengan dunia yang sangat berbeda dengan latar belakangku. Seorang perempuan muda, berusia 27 tahun harus memimpin orangtua yang telah banyak makan asam garam, memimpin laki-laki batak yang sarat dengan feodalisme. Perjalanan yang dengan susah payah kubangun. Kadang suka, kadang duka, kadang kecewa, kadang marah, tapi persahabatn harus dibangun dengan dasar iman yang teguh. Sesekali aku singgah ke Tarutung mengujungi suami dan anak-anakku, sesekali aku pulang Pangururan, menitipkan anakku ke ompungnya, karena ada tugas lain di luar daerah. Sungguh sebuah perjalanan yang menyenangkan, mengingatkanku untuk hidup yang penuh perjuangan. Dari Tanjung Medan kuteruskan asa, menuju Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Menikmati berkat Tuhan dengan pengutusan study lanjut program pasca-sarjana Sosiologi Agama, yang dibiayai Lutheran World Federation. Sungguh suatu waktu yang berat menjadi seorang mahasiswi dengan dua putri. Tidak itu saja, aku masih harus berjalan ke Semarang, Cilacap, Solo, Yogyakartai, Magelang, Klaten, Boyolali dan daerah Jawa Tengah lainnya meneruskan tugas panggilanku sebagai pendeta. Di Magelang, aku ikut menemani suami sebagai istri pendeta sambil menulis tugas akhir. Di Magelang, sejarah baru lahir, Chrisatya Hotasi Jeremia, putra kami lahir. Apakah cukup melelahkan? Ternyata tidak. Aku meneruskan langkahku dengan tugas sebagai istri, ibu, istri pendeta, pendeta non struktur (freelance), dan membangun ekonomi keluarga dengan membuka usaha dagang. Aku mengantar jemput anak-anak ke sekolah dengan membawa buku sofie marthin dan tupperware, menanyakan orang tua siswa, apa ada yang membutuhkan? aku pergi ke arisan Silahisabungan dan Simanjuntak, dengan membawa sarung tenun ulos dan songket palembang, serta kain kebaya, siapa tahu ada yang berminat. Semua perjalanan itu kuisi dengan membangun persahabatan, yang kadang memberi tawa, kadang menorehkan luka. Di magelang aku menguras tabungan membantu beberapa perempuan membangun ekonomi dengan memberi modal, tapi tak seorang pun yang berhasil, modal mereka justru dipakai untuk membayar utang-utang mereka.
Kini, 3 tahun kurang 2 minggu aku menelusuri kota Surabaya, dari gereja yang satu ke gereja lainnya, dari sektor satu sampai ke sektor empat, dari punguan ina ke punguan marga, dari arisan yang satu ke arisan yang lainnya, dari retreat sekolah minggu hingga retreat orang dewasa. Membangun persahabatan, membangun sebuah harmoni. Mungkin ada yang lewat dan mengkritik langkahku yang tidak seirama, ada juga yang tersenyum, tertawa, menghibur, memuji dan mengejek, tapi aku terus meneruskan tugas-tugasku, menambah usaha dagang dengan menjual pulsa elektrik, mendukung usaha Dosen-dosen Universitas Ciputra, Surabaya (tempat adikku mengajar) dengan urunan membantu petani kunyit di Jatim. Persahabatan itu masih terus berjalan. Aku membangun persahabatab dalam dunia nyata juga dalam dunia maya. Aku ikuti irama langkah orang-orang di sekitar, tapi terkadang aku membuat langkah baru, supaya putaran kakiku tidak merusak harmoni lagu dan gerak.
Persahabatan itu masih berjalan dan akan terus berjalan................ sampai waktu ajal tiba, sambil merenungkan Amanat Agung Tuhan Yesus: " Pergilah beritakalah injil....., aku menyertai engkau sampai akhir zaman!' (Matius 28, 19-20).


Beberapa orang memasuki hidup kita dan segera pergi. Beberapa orang tinggal sejenak dan meninggalkan jejak di hati. Dan kita tidak pernah menjadi orang yang sama lagi lagi. (anonim).

2 komentar:

  1. syallom ka

    salam kenal yah....

    perjalan hidup yang penuh perjuangan en tanpa kata mengeluh.....Moga Tuhan Yesus Selalu melindungi keluarga dan semakin di berkati.

    BalasHapus
  2. trimaksih banyak, Tuhan memberkati!

    BalasHapus