Jumat, 06 November 2009

Yesaya 58,4-12

“Puasa, Suatu Pembelajaran tentang kebenaran Hidup”
1. Suatu waktu, saya pernah melihat lelaki tua yang rajin berpuasa berebut makanan dengan beberapa orang yang lebih muda darinya di acara pesta adat. Saya melihat dari jauh, sungguh memalukan di usia senja harus berebut makanan, bersaing dengan yang muda karena tidak dapat menahan rasa lapar. Dia mempertaruhkan dirinya untuk sepiring nasi, padahal dia sering lapar karena berpuasa. Itu mungkin latar belakang mengapa Paulus pernah berkata, kalau mau ke pesta, ikatlah pinggangmu dengan kencang supaya kalau lapar tidak berebut seperti orang rakus.
2. Puasa merupakan bagian dari peribadahan hampir semua agama. Kekristenan juga mengenal puasa (Yunani: nesteia: ne=tidak; istea=makan. Lukas 18,12), bahkan Yesus sebagai Guru besar orang Kristen itu pun berpuasa selama 40 hari, 40 malam. Dengan berpuasa Yesus hendak menyampaikan pada pengikutNya supaya * bersikap merendahkan hati; * menyatakan rasa kasih pada Tuhan; * mendisiplinkan tubuh dari keinginan daging (menyangkal diri), menaruh simpati pada sesame yang miskin; *Meminta jawaban dari Tuhan untuk masalah yang kita hadapi. *Mengusir setan. Jadi, puasa bukan sekedar tidak makan dan tidak minum, tetapi dengan puasa, kita mengerti penderitaan orang yang lapar karena tidak ada makan atau karena kemiskinan; dengan berpuasa kita kuat melawan godaan, kita tidak akan memperebutkan makanan, tetapi mau menunggu, antri sesuai dengan barisan, karena saat kita lemah akan banyak menggoda iman kita, tetapi apakah kita dapat mengendalikan diri? Saat berpuasa kita boleh menyisihkan makanan yang harusnya kita makan untuk dibagikan bagi orang yang berkekurangan.
3. Umat Jahudi juga melakukan puasa. Ada persoalan yang muncul saat berpuasa, yaitu terjadi perbantahan, perkelahian dan memukul dengan tinju. Ada tindak kekerasan saat melakukan ibadah puasa. Allah hendak menyatakan puasa tidak sekedar tidak makan dan tidak minum, tetapi melampaui dari itu, di mana dengan berpuasa kita menjadi kuat menahan nafsu amarah, meskipun kita lapar dan haus, bahkan saat di gurun pasir. Memang seseorang yang lapar akan mudah jatuh ke pencobaan, makanya sering kita dengar, karena lapar orang mau menyikut, mencuri, bahkan membunuh. Tetapi dengan berpuasa (dari kata puasa dalam bahasa Ibrani: Tsum, inna natsyo: merendahkan diri di hadapan Allah. Imamat 16,29+31; 23, 27-32), lapar tidak membuat kita menjadi marah, sebaliknya akan semakin rendah hati, lemah lembut dan memikirkan orang yang belum makan.
4. Ketika terjadi kemorosotan iman dan moral orang Israel yang telah masuk ke Yerusalem, setelah kembali dari pembuangan Babel, Yesaya menyampaikan pada bangsa itu, supaya kembali pada peribadahan yang benar, membenahi iman dan tidak hanya mementingkan diri sendiri. Memang mereka rajin melakukan ritual ibadah, termasuk berpuasa, tetapi ibadah itu tidak membawa dampak dalam pembangunan iman mereka. Mereka beribadah, tetapi rumah Tuhan yang hancur tidak dibenahi sebaliknya, rumah mereka yang lebih dahulu di bangun. Ibadah demikian tidak dikehendak oleh Tuhan yang membawa mereka keluar dari pembuangan, bahkan dalam ay.8 dikatakan, suara mereka tidak di dengar jika ibadah itu hanya rutinitas yang tidak membawa baik dalam hidup mereka dan lingkungan mereka. Koor yang telah dilatih bertahun-tahun dan sangat indah tidak di dengar Tuhan kalau itu hanya sekedar numpang manggung di gereja. Itulah yang dikatakan Nabi Amos dalam pasal 5; ‘Aku benci ibadahmu, Aku benci persembahanmu, jika tanpa keadilan’.
5. Tuhan sungguh menghendaki ibadah puasa, di mana pada hari puasa menjadi hari merendahkan diri, membuka belenggu kelaliman, melepaskan tali untuk memerdekakan orang yang teraniaya, memecah rotimu untuk orang lapar serta memberi pertolongan bagi orang miskin (ay. 5-7). Saat berpuasa akan nampak dalam dirinya terang seperti fajar, lukanya pun akan pulih karena telah dimenangkan dengan perbuatan baik dan kepedulian terhadap lingkungan.
6. Banyak orang Kristen tidak terlalu terikat dengan ibadah puasa oleh karena berbagai alas an, tetapi ada yang tekun dan saleh dalam peribadahannya. Apapun pilihan seseorang itu boleh diterima sejauh kekristenan itu terus menggemakan kebenaran di tengah kelaliman yang terjadi.
7. Di Negara kita muncul berbagai istilah saat ini tentang bobroknya moral dan hokum Negara. Ada yang menjadi saksi dusta dengan berbagai rekayasa untuk suatu scenario yang mendukung kebebasan dari hukuman, ada yang disebut sebagai mafia peradilan, dsb. Yang menjadi pertanyaan, sebagai umat beragama apakah sumbangsih kita untuk emmbongkar kelaliman ini? Apakah makna kita dalam membebaskan orang yang teraniaya? Mungkin sebagian sudah mengatakan bahwa sudah ada yang berwewenang untuk itu, sebagaian ambil bagian dengan mendukung kelompok tertentu dalam sebuah gerakan agar keadilan ditegakkan, dsb. Tetapi, saat ini kita terpanggil agar ibadah, doa dan puasa kita boleh membawa dampak untuk kepedulian social, untuk suatu kehidupan yang mau berbagi. Istilah yang digunakan Rasul paulus dalam 2 Korintus 9,6 agar mengingat hokum tabor tuai, menabur sedikit, sedikit yang dituai, menabur banyak, melimpah tuaiannya. Menabur dalam kasih akan mendapat damai sejahterah, menabur dalam daging akan dihancur oleh keinginan dagingnya.
8. Puasa bukan untuk didemonstrasikan, tetapi sebuah keheningan, meditasi, dan berdiam diri merendahkan hati, tunduk secara hormat pada Tuhan. Ketika puasa didemonstrasikan, maka dia akan menunjukkan muka murung seperti orang lapar, sebaliknya, ketika puasa menjadi keheningan, dia akan tetap segar dan lincah melakukan kebaikan (ay 10), sehingga hidupnya bagi sesama seperti terang yang terbit pada kegelapan. Di keheningan yang berbuat itulah Tuhan mendengar suaranya, mendengar keheningannya, karena Tuhan yang menuntunnya melewati jurang maut, dan membebaskannya dari godaan yang mengitari hidupnya.
9. Inilah ibadah sejati, ibadah puasa yang berkenan di hadapa Tuhan: terbuka memberi pertolongan dalam doa dan perbuatan, dalam kata dan pikiran, dalam ibdah dan pekerjaan.
10. Selamat beribadah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar