Sabtu, 26 Maret 2011

Markus 12, 41-44

"Memberi semua Nafkahnya"

1. Kisah janda miskin yang seharusnya mendapat santunan dari bait Allah menjadi luar biasa bagi Yesus ketika dia memberi semua nafkahnya sebagai persembahan. Kisah seperti ini pernah terjadi di GKJW Jemaat Sukolilo, Mbah Kahar -seorang kakek warga jemaat setiap bulan mendapatkan bantuan uang dari gereja untuk meringankan beban hidupnya sehari-hari. Pada bulan april 2004, ia meninggal dunia. Hal yang membuat semua warga jemaat terharu adalah ia membuat “wasiat” yang isinya adalah pesan agar sebuah amplop yang isinya Rp 10.000; (sepuluh ribu rupiah) diserahkan ke gereja untuk persembahan. Ditengah kemiskinan, ia memiliki jiwa mempersembahkan yang ada padanya. Ia mempersembahkan jauh lebih besar daripada sepersepuluh yang ia miliki.
2. Saya pernah berbincang-bincang dengan seorang jemaat yang taat memberi perpuluhan. Ketika itu, dia berkata: ‘Pada saat pendapatan (gaji) saya 10 juta, saya tidak masalah dalam memberi perpuluhan. Saya beri dengan sungguh-sungguh dan tanpa beban. Namun ketika pendapatan saya sudah mencapai 50jt, baru saya agak ragu dan berat hati untuk memberi 10%, karena saya pikir itu terlalu banyak!’
3. Persembahan memang sering menjadi perdebatan di dalam gereja. Ada yang meberi dengan sukacita, ada yang bersungut-sungut. Ada yang memberi dari semua yang dia miliki seperti seorang janda miskin di perikope kita minggu ini, tapi ada juga yang memberi sisa dari yang dia miliki. Ada juga yang menganggap bahwa persembahan yang diberi adalah untuk pelayan yang ada di gereja, sehingga ketika dia tidak suka pada si pelayan, dia mengurangi persembahannya, atau sebaliknya. Bila persembahan dianggap untuk manusia, maka ada orang yang tidak merasa malu memberi persembahan yang terkecil dan terjelek. Saya teringat dengan cerita dari lawak batak. Ketika itu ada uang seribu yang robek di buang seseorang. Lalu seorang bapak mengambil, ketika ada yang menegur bahwa uang itu dibuang karena robek, sang bapak berkata, ‘Tidak apa-apa, bisa dipakai buat persembahan pada hari minggu di Gereja’. Benar atau tidak cerita itu, saya mau bertanya, ‘Mengapa orang tersebut berani mengatakan demikian?’
4. Banyak diantara umat Kristen yang tidak memahami arti dari persembahan. Suatu waktu, pasca rekonsiliasi HKBP sekitar tahun 1999, ada jemaat dari Jawa ini datang ke kantor pusat HKBP, meminta pendapat Ephorus ketika itu, supaya diberi jalan keluar menyelesaikan persoalan yang masih membekas di Gereja mereka. Di dalam percakapan yang semakin memanas, salah seorang ibu berkata dengan keras, supaya para Pendeta itu tegas, supaya jemaat itu tidak lari, karena jemaat yang menggaji pendeta! Salah seorang Pendeta berkata pada rombongan tersebut, :‘ingat, bukan jemaat yang menggaji pendeta, tetapi Tuhan, karena pendeta adalah hamba Tuhan! Kita boleh bandingkan Elia yang dikejar-kejar hingga bersembunyi di gua adulam. Dia diberi burung makan, bukan oleh manusia.
5. Cenderung jemaat menganggap bahwa persembahan, ucapan syukur, perpuluhan mereka adalah untuk pelayan-pelayan di Gereja. Maka sering kita mendengar warga jemaat yang mengatakan, ‘kan banyak uang gereja?’ Seolah-olah uang itu milik manusia, boleh dipakai semuanya tanpa merasa bahwa uang itu milik Tuhan. Jika pemikiran itu ada dalam diri seseorang, tentu akan muncul pendapat seperti ibu tadi, bahwa mereka yang menggaji hamba Tuhan.
6. Firman Tuhan hendak menjelaskan pada kita bahwa persembahan yang kita beri bukan untuk manusia, tetapi untuk Tuhan. Jemaat yang menerima kasih karunia mengucap syukur dengan memberi semua hidupnya kepada Tuhan, mempersembahkan semua yang dimilikinya (BE no. 204). Tuhan melalui pekerja Gereja memakai persembahan itu untuk pekerjaanNya, termasuk menggaji para hambaNya.
7. Maka ketika Yesus duduk menghadapi peti persembahan dan memperhatikan bagaimana orang banyak memasukkan uang ke dalam peti itu. Dia melihat, banyak orang kaya memberi jumlah yang besar. Tapi, juga ada seorang janda yang miskin dan ia memasukkan dua peser, yaitu satu duit. Maka Yesus memanggil murid – muridNya dan berkata kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Mengapa Yesus mengatakan demikian? Bukankah orang kaya itu telah memberi dengan banyak.
8. Ternyata pemberian tidak soal besar dan kecil, tetapi soal bagaimana memberi dengan hati yang beriman. Itu sebabnya, Yesus meneruskan percakapanNya dengan berkata, ‘Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya.”
9. Menurut kamus bahasa Indonesia, kata nafkah berarti, gaji, pendapatan, uang belanja untuk kehidupan sehari-hari. Saat Yesus berkata ‘seluruh nafkahnya’, itu berarti janda itu memeberi hidupnya. Nafkah itu akan melanjutkan makan minumnya, tapi itu yang diberikan. Tidak memperhitungkan apa yang akan dia makan besok, sebab janda itu ingin menyerahkan bahkan nyawanya untuk kemuliaan Tuhan.
10. Sementara orang kaya itu, meskipun dia memberi banyak, depositonya, tabungannya, biaya hidupnya dan biaya sekolah anak-anaknya, tidak terganggu. Tidak ada yang terusik, karena dia memberi dari kelimpahannya, dari sisa-sisa kebutuhannya. Dia tidak mempertaruhkan apapun dalam memuliakan Tuhan!
11. Saya teringat dengan seorang jemaat yang hendak dipilih menjadi calon penatua gereja. Ketika itu, beliau menjawab, ‘tidak ada waktu, tunggu aku pensiun dulu’ Sering sekali terjadi dalam mengikut Tuhan kita hanya memberi sisa belanja kita, sisa waktu kita, sisa tenaga kita. Tidak sungguh-sungguh memberi diri untuk mengikut Tuhan. Tidak sungguh-sunguh memberi waktu, tenaga, hidup dan uang kita sebagai persembahan pada Tuhan. Maka ketika ada kebutuhan gereja dan diadakan penggalangan dana, akan ada suara yang mengatakan, tidak ada anggran untuk itu. Janda miskin itu tidak memperhitungkan untuk dirinya, dia mengambil semua miliknya, bahkan nafkahnya untuk dipersembahkan pada Tuhan.
12. Melalui cara orang kaya dan janda miskin ini kita diperbaharui dalam memaknai persembahan, yaitu:
- Pemberian yang sesungguhnya haruslah merupakan pengurbanan. Bukan soal besar kecilnya yang kita persembahkan, tapi kerelaan berkurban untuk memuliakan pemberi berkat.
- Pemberian yang sesungguhnya adalah ‘kenekatan’. Logika kita akan berkata bahwa janda itu seharusnya menyimpan uangnya untuk kebutuhan kesehariannya, tapi dia ‘nekad’ mempersembahkan uangnya yang hanya dua peser. Mengapa? karena bukan dirinya yang ada dalam persembahan itu, tapi Tuhan sebagai pusat pandangnya (okuli). Jumlah persembahan janda itu, tidak berpengaruh diberi atau tidak untuk kebutuhan bait Allah, tapi memotivasi orang lain untuk ‘nekad’ berbuat baik.
- Memberi sedikit dicatat dan disebut Yesus sebagai kemurahan hati, karena janda itu memberi semua yang ada padanya dengan hati yang berkurban maka kemurahan hati adalah pengurbanan, seperti Kristus yang bermurah hati untuk dunia dengan memberi diriNya menjadi kurban untuk pengampunan dosa dunia.
- Di balik persembahan ada syalom (perdamaian), pengampunan dan keadilan. Jika seseorang memberi persembahan, maka dia harus menciptakan perdamaian, tidak balas dendam dan berlaku adil di bait Allah atau di luar bait Allah, jika tidak Tuhan membenci persembahan itu. (bnd. Amos 5; Hosea 6).
13. Disamping memberi semua nafkahnya, janda itupun melampaui ikatan budaya karena ‘kenekadannya’ memberi persembahan bagi Tuhan. dalam tradisi Yahudi, “Janda” seseorang yang seharusnya bungkam tanpa boleh membuka mulut. Dia tidak dapat mengatakan tentang dirinya sendiri karena telah kehilangan suami atau kekuataannya, di mana dalam budaya di Timur Tengah manusia dibagi berdasarkan gender atau jenis kelamin. Lelaki adalah makhluk publik, jenis manusia yang boleh berada di tempat umum, sedangkan perempuan harus berada di rumah bersama kelompok anak-anak. Lelaki yang punya hak dan tugas sosial, menjabat tugas kepemerintahan, sedangkan perempuan tak mempunyai hak sedikitpun. Itu berarti janda itu telah keluar dari ikatan tradisi memberi yang hanya tugas dan hak laki-laki. Dari sisi ini, Yesus mengkritisi tokoh agama, masyarakat dan orang kaya yang punya kesempatan memberi tapi tidak dilakukannya, sementara janda yang tidak punya hak untuk itu, keluar dari tradisi yang mengekannya untuk memberi persembahan di tempat umum. Bisa saja janda ini kena hokum karena telah melanggar tradisi, tapi itupun dilaluinya, sebab persembahan adalah pengurbanan. Salah satu ciri pemimpin yang hilang dewasa ini adalah tidak mau berkorban untuk orang lain. Tidak ada yang memberi hidupnya demi kemuliaan Tuhan. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar