Sabtu, 31 Juli 2010

Matius 7,1-5

“Jangan Menghakimi supaya Kamu tidak Dihakimi”
1.‘Kenalilah dirimu!’, Demikian Socrates mengatakan untuk lebh cerdas mengenal diri sendiri dalam menjalani hidup. Dengan mengenal diri, kita akan lebih hati-hati bersikap, cerdas bertindak dan tidak memandang orang lebih rendah dari kita. Rasul Paulus dalam Roma 12,3-5 mengatakan, kenali dirimu, dalam kerangka memakai talenta yang kita miliki untuk kebaikan sesama, untuk pekerjaan pelayanan Tuhan. Maka apa yang baik dalam diri kita, yang sumbernya dari Tuhan hendaklah digunakan untuk kebaikan, bukan menindas, melemahkan yang lain. Dalam pendahuluan khotbah (Mzm 49, 7-9), bertindak adil untuk semua orang, tidak menghina dan menghakimi kelemahan mereka (cth miskin).

Ada seorang Ratu yang selalu melihat dirinya dalam cermin. Setiap kali dia bercermin, dia akan bertanya pada cermin itu:”Siapakah perempuan paling cantik di dunia ini?’ cermin yang punya kekuatan menjawab, bahwa ‘sang ratu’ yang paling cantik. Suatu ketika, cermin itu melihat putri tiri sang ratu, dan ketika ratu bertanya siapa perempuan yang paling cantik, cermin itu berkata jujur, bahwa putri tiri ratu perempuan paling cantik di dunia. Mendengar itu, ratu marah, dia memecah cermin itu karena tidak berpihak padanya.

Itulah manusia, selalu memakai apa yang dia pikirkan dan menjadikan dirinya standart kebenaran dalam menilai orang lain. Sifat yang merasa diri lebih baik dan benar akan melihat yang lain salah dan jelek. Sikap ini bisa merusak dan mengacaukan banyak orang.

Dalam perikope ini, khotbah di bukit (5-7), ada banyak manusia dari berbagai kalangan, imam, pedagang, pegawai, orang tua, guru dll. Dalam perbedaan status social dari kelompok pendengar, tentu bisa terjadi saling merasa diri benar dan melihat kelemahan orang lain. Imam/orang Parisi melihat dirinya lebih baik dari pedagang atau pekerja lainnya, sedangkan yang lain melihat mereka melihat imam/Parisi munafik, tidak hidup sesuai pekerjaan mereka. Maka terjadilah pertikaian, saling menghakimi sesuai dengan pikiran dan standart kebenaran mereka. Yesus menegaskan dalam perikope ini, supaya satu dengan lain tidak saling menghakimi, tidak melihat kesalahan orang lain untuk menjatuhkan mereka, tapi kenalilah diri sendiri, bertindak sesuai standart kekristenan, yaitu dipandu oleh Firman Tuhan.

Penilaian yang baik dibutuhkan tidak hanya dalam memahami orang, namun juga dalam menghadapi keputusan-keputusan yang sering kali menuntun kita pada atau menjauhkan kita dari Bapa Surgawi kita. Bila orang Kristen saling menghakimi, maka gereja akan terpecah-belah karena saling menghakimi adalah cara Iblis memecah-belah tubuh Kristus. Itulah yang dipahami oleh sebagian orang Kristen.
Hakim adalah pekerjaan mengadili. Bila kita menghakimi orang bisa tidak tepat karena itu bukan tugas kita dan subjektivitas kita yang muncul karena semua penilaian bermuara pada diri sendiri. Anak saya yang bungsu, ketika berusia 2 tahun, setiap melihat laki-laki dewasa bercelana jeans, akan berkata bahwa itu penjahat. Suatu hari, kami sedang duduk-duduk di mall, tiba-tiba dia berkata, ‘mama, awas penjahat lewat’, saya pucat ketakutan mendengar teriakan anak saya, saya takut pria berkucir dan berjeans itu mendengar. Anak saya sudah punya standart tentang pria dewasa melalui pakaiannya. Demikian lah kita bisa salah menilai seseorang jika kita memakai standart dan kebenaran kita. Oleh karena itu, Yesus meletakkan prinsip dasar dalam ay 1, untuk tidak menghakimi dan memberi prinsip teologia mengenai penghakiman (ay.2).

Ay. 1 “Janganlah kamu menghakimi, supaya tidak dihakimi’. Yesus berpikir bahwa para murid satu sama lain bukan hakim atau pemeriksa yang sesuai standart penghakiman yang benar, oleh karena itu, Yesus mengklarifikasi agar mereka tidak saling menghakimi, tidak menjadi batu sandungan bagi sesama (Rom 14, 10-14; Yakobus 4,11-12). Yesus tidak bermaksud mengatakan bahwa segala sesuatu atau setiap orang dapat diterima tanpa kritik. Dia juga tidak bermaksud bahwa semua orang, baik sebagai orang tua, pemimpin gereja, penguasa, guru atau apapun, salah ketika mereka mengkritik orang yang ada di bawah pemeliharaan mereka. Mengkritik bisa asal dengan keinginan hati yang baik. Maksud Yesus adalah supaya muridNya tidak mengambil pekerjaan Allah, yaitu menghakimi, sebab penghakiman adalah hak Allah. Artinya ketika kita menghakimi orang yang menurut standart kita salah, kita telah merampas hak Allah, mengambil tempat Allah.
Bila kita menghakimi seseorang, maka dalam Ay. 2 dikatakan, dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, itu juga dipakai untuk kita. Mengapa Yesus mengingatkan muridNya untuk tidak saling menghakimi? Karena dengan menghakimi, persoalan tidak selesai. Apa yang dia lakukan, akan terjadi seperti itu padanya. Maka orang tua selalu mengingatkan anak-anaknya melakukan yang baik, karena apa yang kita lakukan akan terjadi juga pada kita. Orang yang masuk dari jendela, akan keluar dari jendela. Saya pernah mendengar cerita, seorang suami meninggalan istrinya tanpa kepastian dan pergi dengan perempuan lain. Ketika dia tua, dia sakit, dia kembali pada istrinya. Istrinya meninggal, tidak ada yang mengurusnya lagi, hatinya sedih atas perlakuan masa lalunya, tapi yang membuatnya paling sedih bukan masalah yang dihadapinya, tetapi karena putri satu-satunya ditinggal pergi suaminya. Seperti yang dia lakukan, terjadi kembali di rumahnya, kepada anaknya. Untuk mengantisipasi kejadian seperti ini, Yesus secara tegas mengingatkan para murid untuk bersikap benar, tidak mengambil tugas Allah dengan menghakimi, sebab penghakiman seperti yang dilakukan akan terjadi padanya.

Memang manusia cenderung melihat kesalahan yang dilakukan orang lain (ay 3). Kesalahan kecil yang dilakukan orang lain, kita umbar, sementara kesalahan besar yang kita lakukan seolah tidak ada apa-apanya. Oleh karena itu, kita perlu bercermin, apakah sikap kita sudah benar. Selumbar (Ingrris ‘speck’ Junani: Karphos: titik) di mata orang lain bisa kita lihat dari jarak jauh (seberang lautan), sementara balok (Inggrik log; plank, Yunani: dokos: kayu yang sangat besar digunakan sebagai penyanggah/penopang dalam pembangunan rumah) yang menutupi mata sendiri tidak dilihat. Yesus menggunakan peribahasa hiperbol untuk menunjukkan bahwa menghakimi seseorang jelas kurang tepat karena semua manusia punya kelemahan dalam versi yang berbeda. Tindakan ini menunjukkan bahwa masalah mengritik orang lain adalah masalah besar dalam hidup manusia, karena kita tidak akan berubah, tetapi berharap orang lain berubah. Dalam ay 3 ini, Yesus meminta murid, supaya jika ada kedapatan berlaku salah, baiklah kita memimpin ke jalan yang benar (Gal 6,1), bukan menghakimi mereka, seolah-olah kita benar, tidak ada kesalahan yang kita lakukan sepanjang hidup kita.

Beberapa orang ada yang munafik ingin memperbaiki orang lain, mengoreksi orang lain, tetapi dirinya sendiri tidak dapat terjamin mengenai kebenaran dan kejujuran. Maka dalam ay 4, dikatakan Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu. Tugas murid bukan menjadi sensor untuk saudaranya, tetapi memeriksa diri. Pemazmur berkata: ‘selidikilah aku ya Tuhan’, sebab manusia jarang mengkritik dirinya, tetapi mudah mengkritik orang lain.

Orang yang menghakimi saudaranya, menganggap diri benar, disebut sebagai orang munafik (5). Yesus berkata pada orang mereka: ‘Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu,.." Yesus menyuruh supaya lebih dahulu mengeluarkan balok dalam mata sendiri, sehingga penglihatan makin tajam untuk membangun orang lain keluar dari kelemahan mereka menuju ke jalan benar.

Pengajaran ini diberikan Yesus kepada para murid yang mengikutiNya supaya tidak terjadi pengelompokan antar sesama. Yesus hendak membangun persekutuan, kesatuan antar sesama dalam keberagaman, termasuk dalam kelemahan dan kekuatan yang dimiliki seseorang, sebab kerajaan Allah adalah karakter damai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar