Sabtu, 25 September 2010

Yohanes 8,1-11

"Keterbukaan Yesus pada Semua Orang"
1. Ketika membaca perikope ini ada orang bertanya, ‘apakah Yesus menyetujui dosa dalam hal ini perzinahan, sehingga Dia tidak menghukum orang berdosa; sementara Hukum Musa mencatat bahwa umat Tuhan di larang berzinah?! Pertanyaan ini alasan Ahli Taurat dan orang Farisi membawa seorang perempuan yang kedapatan berzinah kepada Yesus. Mereka hendak mencobai Yesus mengenai konsistensiNya dalam melakukan Hukum Musa sekaligus hokum Kasih. Bagaimanakah Yesus bertindak jika diperhadapkan dengan situasi demikian?
2. Ada sisi kehidupan manusia dalam menghadapi situasi ini, yang pertama gambaran orang farisi dan ahli taurat yang melihat sisi buruk dari orang lain/berpikir negative tentang orang. Mereka berusaha mendapatkan suatu tuduhan atau dasar mana mereka dapat menjatuhkan Yesus yang selalu bersikap baik, terbuka pada semua sifat manusia. Mereka menganggap sikap itu sebagai kemunafikan, sehingga mereka menguji Yesus tentang konsistensi dalam mengasihi umat saat kedapatan melakukan dosa. Mereka hendak menjebak Yesus tentang sikapNya pada orang berzinah. Jika Yesus menghukum sesuai hukum Musa, maka Yesus akan kehilangan nama baik yang penuh kasih dan sahabat orang berdosa. Hal ini adalah wajar sebab jika timbul masalah hukum mereka boleh membawa ke Rabbi. Sisi lain, gambaran Yesus yang terbuka dan menerima keberadaan manusia. Penerimaan ini membuat manusia terbuka dalam pengampunan, sehingga tidak mudah memberi hukuman bagi orang bersalah. Yesus juga selain mengampuni mengingat supaya tidak kembali ke dosa yang sama, tidak melakukan kesalahan yang sama.
3. Sikap pertama tadi menunjukkan bahwa orang Farisi dan ahli Taurat menunjukkan bahwa ada pertentangan antara ajaran mereka dengan apa yan diajarkan Yesus. Ketika Yesus terbuka pada semua orang, hal itu dianggap pencemaran terhadap kekudusan, sehingga mereka sering menguji Yesus jika sedang bersama dengan orang lain yang dianggap tidak kudus, seperti perempuan Samaria, pemungut cukai, orang Samaria yang baik hati. Dll. Tetapi sikap ini tidak membuat Yesus menjadi undur berbuat baik, Yesus yang tidak diterima kalangan agamawan Yahudi tidak menjadi gentar melakukan pengutusan yang diterima dari BapaNya. Sikap mereka tidak memperngaruhi sikap Yesus dalam menjalankan tugasNya.
4. Baru-baru ini saya mengenal seseorang yang mengundurkan diri dari jabatan bendahara gereja hanya karena laporannya kurang berkenan di hati beberapa orang. Tindakan mengundurkan diri, adalah sikap ketidakbertahanan melakukan kebaikan hanya karena dikritik, tidak diterima dan kurang berkenan di hati orang. Sering sekali kita bersikap sesuai dengan penilaian orang lain, sehingga apa yang Tuhan mau dari kita menjadi tidak terlaksana.
5. Yesus mengubah cara pikir kita dalam bersikap di tengah kehidupan yang tidak semua pihak boleh menerima kerja dan usahan kita, tetapi dalam situasi itu pun Yesus tidak terpangaruh, tidak mundur melakukan kebenaran.
6. Perempuan berdosa itu siap untuk menerima hukuman sesuai dengan hukum Musa, karena dosa zinah adalah dosa yang dianggap sangat serius. Bagi orang Yahudi lebih baik mati daripada melakukan penyembahan berhala, pembunuhan dan perzinaham. Maka ketika orang Farisi dan Ahli Taurat membawanya ke Rabbi (Yesus), dia ikut, siap untuk menerima hukuman. Sesuai hukum Musa, mereka jelaskan hukuman bagi perempuan itu, tapi Yesus tidak melakukanNya dan meminta orang yang tidak berdosa di antara orang banyak itu yang pertama melakukanNya. Pertanyaan Yesus pada mereka, sekaligus pertanyaan bagi kita: ‘Siapakah diantara kamu yang tidak berdosa?’
7. Rasul Paulus berkata, bahwa tak seorang pun manusia yang tidak berdosa, semua berdosa. Artinya, Yesus juga berpikir demikian, bahwa kedatanganNya k dunia adalah membawa manusia berdosa ke jalan kebenaran. Dia rela menjadi tumbal dosa untuk kemuliaan umatNya. Oleh karena itu, tak seorang pun manusia berhak menghukum saudaranya yang berdosa, sebab penghukuman itu adalah hak Allah, dan Allah telah mengutus Yesus ke dunia supaya dunia tidak binasa, supaya orang berdosa tidak mati di dalam dosaNya. Artinya, Yesus hendak mencerahkan pikiran orang banyak itu bahwa semua manusia adalah umat berdosa dan kedatanganNya adalah untuk mengampuni orang berdosa.
8. Disamping itu, Yesus juga tidak mau konflik secara terbuka dengan orang farisi dan ahli taurat mengenai penghukuman. Sejenak Dia berdiam diri, membungkuk dan menulis di atas pasir untuk menunjukkan bahwa Yesus kurang setuju dengan cara mereka mempermalukan perempuan itu di depan umum. Atau saja Dia menahan rasa malu seperti yang dialami perempuan hina itu. Dia menderita seperti perempuan itu. Disamping itu, Yesus ingin menyadarkan farisi dan ahli taurat dengan mengulang hukuman merekabahwa hukuman itu sangat sadis. Padahal Yesus pernah mengajarkan, kalau ada kedapatan berdosa, baiklah dia dipanggil dan ditanya oleh imam hanya empat mata, kalau dia menolak bolehlah memanggil saksi, jika masih menolak baru ditanyakan di depan jemaat. Tapi ahli taurat telah membawa penzinah ke depan umum dan segera menjatuhkan hukuman.
9. Yesus bahwa semua manusia tidak sanggup melakukan hukum taurat jika dari dirinya sendiri, oleh karena itu Dia datang ke dunia. Alasan itu membuat Yesus memahami bahwa dosa harus diampuni dan diingatkan untuk tidak melakukannya lagi. Persoalan sering terjadi saat kita merasa diri paling benar seperti Farisi dan ahli taurat. Ketika kita merasa benar, kita akan selalu melihat orang lain salah, menggemborkan kesalahan orang lain ke semua orang. Inilah hal buruk dari manusia, menganggap diri lebih benar dari orang lain, sehingga hanya melihat keburukan dari orang lain.
10. Orang banyak itu pergi dan tidak melakukan hukuman yang mereka rancang, ketika sebuah realita dipertanyakan pada mereka. Yesus menyadarkan orang banyak itu bahwa mereka juga adalah orang berdosa. Dengan demikian mereka menjadi tidak berani bertindak anarkhis pada orang berdasa yang sama dengan mereka.
11. Yesus bukan setuju dengan perangai orang berdosa, tapi menginginkan perubahan manusia meninggalkan dosa dan hidup pada kebenaran. Itu pesan terakhir dari Yesus kepada perempuan itu agar pergi dan tidak mengulang kembali dosanya. Perkataan Yesus menjadi pembelajaran bagi kita, bahwa penghukuman adalah hak Tuhan, kita bertugas melakukan kebenaran dan mendukung orang untuk selalu berkembang ke arah yang baik. Ayat 11 adalah konsep berpikir Yesus yang tidak menjatuhkan hukuman bagi orang yang mau diperbaharui. "Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang."
12. Kita adalah umat tebusan Tuhan, kita juga tidak ada yang luput dari dosa, oleh karena selalu bersikap mengampuni dan melakuakan kehidupan yang diampuni dengan saling terbuka, menerima dan mengasihi. Artinya, selama kita hidup di dunia ini, Tuhan memberi kesempatan bagi kita untuk bertobat dan Tuhan terbuka menerima kita untuk diubah ke arah yang semakin baik. Amin.

Sabtu, 11 September 2010

1 Korintus 12, 14-27

“Bersatu dalam Perbedaan”
1. Gambaran tubuh manusia adalah penjelasan sederhana untuk memaknai kesatuan dalam perbedaan. Bentuk dan fungsi anggota tubuh yang berbeda tidak menjadikan tubuh terpecah-pecah, sebaliknya justru saling mendukung, saling memerlukan untuk mencapai tujuannya. Ketika perut lapar, otak bergerak memerintahkan tangan untuk memasukkan makanan ke mulut, gigi mengunyah dan ditelan melalui leher. Hasilnya manusia kenyang, sehat dan bisa meneruskan kerja. Artinya, satu dengan yang lain saling menolong dan memerlukan untuk mencapai kesatuan.
2. Pernah muncul pertanyaan, ‘mengapa Tuhan menciptkan Adam dan Hawa secara berbeda? Apakah untuk menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan tidak bisa bersatu, atau laki-laki lebih tinggi kelasnya dari perempuan?’ seorang teman Pendeta menjawab pertanyaan ini dengan sederhana, coba kalau semua perempuan sama, bagaimanakah kita mengenal yang mana istri kita dan mana istri orang. Kalau semua sama persis, tentu situasi bisa runyam, apalagi kalau sampai ada yang menggadeng perempuan yang bukan sitrinya, tapi karena perempuan itu berbeda-beda, maka tidak terjadi kekacauan karena masing-masing mengenal yang mana istrinya. Dalam perbedaan itulah justruk nampak keindahan persekutuan Adam dan Hawa dengan perbedaan yang mereka miliki, mereka menjadi saling melengkapi. Demikian juga tubuh kita, coba kalau semua mata, tidak ada telinga, hidung, mulut dan yang lainnya, betapa menakutkan orang itu, tetapi Tuhan mengatur sedemikian rupa sehingga terlihat harmoni, dengan perbedaan itu terjadi keteraturan sehingga sistim kerja menjadi sinergis.
3. Mata tidak ditempatkan satu di dahi dan satu lagi di belakang kepala, tapi sejajar, sehingga harmonis dan pandangannya bisa jauh dan jelas karena dua lebih baik daripada satu. Mulut tidak dua, karena dapat menyebabkan kerusakan, kalau dua mulut saling bicara dengan tema yang berbeda. Artinya, Tuhan menempatkan semua secara baik supaya tidak terjadi perselisihan antar satu organ tubuh dengan organ lainnya (ay. 25).
4. Demikianlah hendaknya Gereja, ada banyak anggota jemaat yang berbeda latar belakang, ada Batak, Nias, jawa, ada yang baik, jahat, pintar, bodoh, kaya dan miskin dipersekutukan dalam Gereja dengan karunia/kharismata/kharis yang berbeda pula. Ada yang bisa berdoa, pintar bernyanyi, pintar berkhotbah, pintar menasihati, rajin mengunjungi orang sakit, dll. Kalau dalam perikope khotbah ini, ada 9 disebut karunia dalam diri anggota jemaat. Seperti: (ay.8) Roh memberikan karunia berkata-kata dengan hikmat, berkata-kata dengan pengetahuan. (ay. 9) beriman, menyembuhkan (Ay.10) mengadakan mujizat, bernubuat, membedakan bermacam-macam roh. Berkata-kata dengan bahasa roh, dan menafsirkan bahasa roh. Sebagai pendukung lainnya kita juga boleh membandingkan dengan 1 Kor. 12:28-29; Roma 12:6-8; Efesus 4:11. Semua karunia itu berbeda pada setiap orang (12:11; bnd. I Petrus 4:10-11).
5. Perbedaan itu bukan untuk menjadi kesombongan, tetapi untuk menciptakan kebaikan dan kemuliaan bagi Allah. Apakah Gereja bisa berkembang, jika hanya paduan suara yang dikembangkan dan tidak diasah karunia lainnya. Kepelbagaian yang dimiliki masing-masing orang perlu dikembangkan dan dimanfaatkan untuk mempersatukan seluruh jemaat. Artinya karunia yang berbeda, adayang menonjol, yang lain tidak, tetapi yang menonjol tidak mungkin hanya dengan kekuatannya bisa tercipta gereja yang kuat, pasti ada dukungan dari yang kecil-kecil sehingga menghasilkan buah yang banyak.
6. Billy Graham seorang pengkhotbah besar dari Amerika pernah berkata; ‘jika aku bisa seperti sekarang, bisa menjadi pengkhotbah besar, itu tidak hanya usahaku sendiri, tetapi ada banyak orang dibalik semua itu, yaitu mereka yang selalu berdoa untukku, setiap kali aku hendak melakukan pelayanan’. Kekuatan doa orang sekitar walaupun kelihatannya tidak berarti, tidak nampak, tapi dampaknnya luar biasa, doa mereka menghasilkan pengkhotbah besar. Coba kita pintar berkhotbah, tapi koster gereja tidak mempersiapkan altar yang bersih, sound sistim yang baik, tentu khotbah kita akan sia-sia, karena suara kita tidak menjangkau pendengar. Berbeda dengan gereja-gereja sekarang, berharap muncul pengkhotbah yang baik di gereja, khususnya HKBP, tapi kita tidak mendukung karunia mereka dengan karunia yang kita miliki, yaitu doa-doa jemaat, sebaliknya kita mencari celah bagaimana mempermalukan pengkotbah itu, jika saja kedapatan ada yang salah dari khotbahnya, kita mencari peluang melemahkan pengkhotbah dengan menghina sebagai pengkhotbah yang kurang baik.
7. Paulus mengingatkan jemaat di Korintus yang ketika itu menyombongkan karunia yang ada padanya dengan menghina karunia orang lain. Kesombongan menyebabkan perpecahan antar anggota jemaat, padahal karunia itu adalah pemberian Allah dan semua saling membutuhkan. Maka Paulus menganjurkan supaya jangan menganggap apa yang diterima dari Tuhan lebih berguna dari yang diterima orang lain. Jari tangan dan kaki memang kecil, tetapi tanpa jari-jari, apakah tangan bisa berbuat? Lidah memang kecil tapi tanpa lidah apakah mulut dapat bicara? Kepala besar tanpa otak yang lebih kecil di dalam kepala boleh kah kita memaknai banyak hal? Yang besar dan kecil saling memerlukan dalam kerangka memuliakan Allah dan membangun hubungan baik dengan sesama.
8. Perpecahan sering terjadi dalam hubungan manusia. NKRI harus mampu saling menerima dengan berbagai perbedaan rakyatnya kalau mau bertahan. Kita tahu, bahwa ada banyak suku yang ingin dimerdekakan dan tidak mau bersatu dalam wadah NKRI karena merasa tidak nyaman tinggal bersama. Merasa tidak diperdulikan dan dianggap kelas dua. Sadar atau tidak, kita merasa lebih berkelas dari masyarakat Papuaa, walau mereka mempunyai karunia yang besar membangun Negara ini. Maka untuk memecah persatuan ada demonstrasi, perang suku, dll. Perpecahan bisa juga terjadi antar personal, di daerah-daerah, sering terjadi perebutan tanah sampai ke pengadilan dan hasilnya kalau ditanya, ‘kami menang, tapi tanah kami jual untuk biaya perkara’. Artinya, perpecahan tidak pernah berdampak baik, walaupun kalau di gereja semakin banyak perpecahan, semakin banyak gereja yang berdiri. Karena itu kita perlu saling memakai karunia yang kita terima membangun persekutuan bukan melemahkan orang lain. Jangan karena kita pintar berorasi, kita terus bicara tidak mau mendengar dan isi orasi kita melemahkan saudara yang lain. Hendaklah kita pakai karunia berkata-kata kita bukan mempengaruhi orang lain memusuhi saudaranya, tapi menguatkan kelemahan saudara kita.
9. Hidup yang bersekutu sangat riskan dengan perpecahan, maka persatuan adalah kebutuhan semua bangsa. Yesus dalam doaNya meminta kepada Bapa, ‘supaya mereka menjadi satu… sama seperti KITA yang adalah satu’ (Yoh 17). Maka sebagai pengikut Tuhan, tentu kita berharap supaya ‘semua’ menjadi satu. Kebutuhan ini dibentuk dalam wadah seperti, gereja sedunia, gereja luther sedunia, Gereja seasia, PGI, MAWI, ICMI, HMI, GMKI, GAMKI, dll. Arisan ‘marga’, ‘parsahutaon’, dll. Semua itu dibentuk dalam membangun persatuan. Namun persekutuan yang dibentuk untuk mewakili pikiran manusia bisa terpecah karena dorongan egoisme, fanatisme dan kesombongan.
10. Untuk membangun Gereja yang bersekutu dengan baik, yang mensejahterakan kehidupan dan memuliakan Tuhan, semua karunia akan dipakai untuk saling mendukung, saling menolong, tidak menganggap diri lebih baik dari yang lain. Yang lemah ditolong yang kuat, yang kuat disempurnakan yang lemah. Istilah Marthin Luther: “kamu menjadi kita; aku menjadi kau’. Amin.