Jumat, 30 Januari 2009

Kolose 3, 14 "kasih Pengikat Persekutuan"

  1. Tony Campolo, seorang dosen Universitas sekuler, non teologia, pada setiap awal semester dia bertanya pada mahasiswanya tentang siapa Yesus menurut murid-muridnya. Jawaban yang dia terima adalah ‘kasihilah musuhmu!’ pemaknaan ini menjadi luar biasa, karena sikap itu sangat berbeda dari naluri seorang manusia.
  2. ketika manusia berkehendak balas dendam, maka seruan Yesus untuk mengasihi musuh adalah hal yang luar biasa yang hanya memiliki kekuatan supranatural dapat melakukannya.
  3. Menurut Filsuf Empedobles (492-532), di seluruh alam semesta hanya ada dua hal kekuatan, yang mempersatukan adalah cinta dan yang memisahkan adalah kebencian. Biasanya kebencian akan melahirkan kekerasan, dan kekerasan demi kekerasan akan melahirkan kekerasan baru.
  4. Untuk menghentikan kekerasan hanya ada satu cara, yaitu mengatakan stop untuk hal yang tidak baik, dan menerima kasih karunia yang dibawa Yesus ke dunia untuk dilakukan dalam menjalin hubungan yang baik dengan sesama manusia.
  5. Terhadap semua kebajikan dan kasih karunia itu, Paulus masih menambahkan satu hal lagi, yaitu apa yang disebutnya dalam nats kita ikatan kasih yang mempersatukan dan menyempurnakan.
  6. Kasih adalah kuasa pengikat yang merangkul seluruh tubuh kristen secara bersama. Kecenderungan setiap orang ingin berpisah atau memisahkan diri dari komunitas, maka kasih akan menggerakkan setiap hati untuk menggabungkan diri dengan yang lain, sehingga terikat dalam persekutuan yang tidak akan terputuskan, karena dengan kasih itu kita mampu dengan rendah hati mengampuni orang yang menyakiti kita.
  7. Charles Lamb pernah begitu mencintai seorang perempuan, tetapi ia melupakan keinginannya untuk menikah ketika ia melihat keluarganya yang begitu membutuhkan pertologannya. Ia menjadi malaikat pelindung bagi seisi rumahnya, khususnya bagi Mary, saudara perempuan yang mengalami gangguan mental. Suatu ketika Mary mengamuk dan menikam ibunya hingga meninggal. Sejak itu Charles memutuskan untuk menjadi ‘penjaga’ Mary. Dan beberapa orang menyaksikan bagaimana Charles bergandeng tangan dengan Mary berjalan menyeberang, membawa saudaranya ke RS jiwa.
  8. Kisah yang senada juga sering terjadi, seorang anak sulung mengorbankan waktu untuk pernikahannya karena dia menjadi penanggung jawab untuk adik-adiknya, dan setelah adik-adiknya bekerja baru ia menikah dengan usia yang lanjut.
  9. Kasih itu memberi pengorbanan tanpa pengharapkan imbalan dari apa yang kita lakukan. Itu terbukti dari Allah yang mengasihi dunia ini, dengan memberi AnakNya yang tunggal.
  10. Jika setiap keluarga penuh dengan kasih maka akan tercipta perdamaian dunia. Karena keluarga menjadi cerminan, gereja, persekutuan dan bangsa kita. Keluarga damai sejahtera akan menciptakan hati yang sejuk yang mau berkorban dan berbagi untuk kesejahteraan sesamanya. Saya pernah berkunjung ke rumah yang keluarganya saling mengasihi. Saya merasa nyaman dan damai tinggal di rumah itu, walaupun saya belum kenal betul mereka, tapi saya dapat berbaur, karena setiap sudut rumah memberikanku senyum. Sebaliknya saya juga pernah mengunjungi keluarga. Tapi setiap kali saya ke rumah itu, walaupun rumahnya luar biasa indahnya, saya ingin segera pulang. Saya tidak tahu kenapa. Saya tahu mereka berbuat baik kepada saya, tapi naluri saya ingin memisahkan diri dari mereka, karena rumah itu penuh dengan kekerasan, dan pertengkaran setiap hari. Saya ikut menderita dengan penderitaan mereka.
  11. Kasih milik semua umat, Tuhan yang memberi untuk kita. Oleh karena itu, kasih perlu ditumbuhkan setiap saat, karena kasih membuat kita terbuka pada pengampunan dan kerelaan berbuat baik. Tidak mungkin orang menerima kasih karunia dengan tangan penuh. Kita harus bersih dan dengan tangan kosong menerima berkat kasih karunia Tuhan. Kasih itu mengalir setiap saat, seperti sungai. Jika tangan kita penuh, kita tidak akan mengalirkan bagi sesama, tentu kasih karunia yang baru setiap waktu, akan melewati kita. Demikian juga pengampunan. Tuhan tidak mungkin mengampuni dosa kita, jika hati dan tangan kita masih penuh dengan kesalahan orang lain. Memang sulit untuk mengampuni, sebagaimana ditulis Martin Luther King, bahwa ia harus berpuasa beberapa hari untuk memperoleh disiplin rohani yang ia perlukan untuk mengampuni musuh-musuhnya. Hanya pengampunan membebaskan kita dari ketidak-adilan orang lain, karena kalau semua kita menuntut keadilan, ‘mata ganti mata’, maka semua kita tidak akan punya mata lagi.
  12. Banyak orang berdebat dan mendiskusikan bagaimana melakukan kasih. Kasih itu berada dalam diri kita dan beroperasi melalui diri kita dengan kehadiran Roh Kudus. Kasih tidak pernah berubah, karena Kasih adalah Allah (1 Yoh 4,16).
  13. Kasih tidak tercampur aduk dengan apapun, kasih tidak terjadi karena status sosial, kasih adalah Allah yang menyatakan diri dalam Yesus yang mengambil rupa manusia. Kasih berlaku, karena kita sudah dikasihi Tuhan, sehingga manusia perlu melakukan kehendak Allah dalam dunia dan komunitas masing-masing orang. Sulit bagi orang bertindak kasih selama ia menganggap diri berdiri dalam kebenaran.
  14. Saya mengutip khotbah Pastor Julius Jacinto SVD, tahun lalu dalam pemakaman Mayor Alfredo Reinaldo Alves, yang mati karena memperebutkan kebenaran. Beliau mengatakan; setiap warga Timor Leste selalu melihat diri sebagai orang paling benar dalam tindak tanduk dan tutur kata mereka. Karena itu, setiap orang mempersalahkan orang lain bahkan berusaha dengan berbagai cara menyingkirkan. Sebenarnya kebenaran itu hanya ada pada Tuhan sebagai sumber kebenaran sejati. Dan kebenaran itu akan kita pahami dengan pengosongan diri pada penyataan dan kasih Allah, sehingga kita mampu menerima setiap orang dalam menjalin hubungan dengan kita.
  15. Pencuri yang keluar dari penjara dan diterima dalam komunitas, itu yang membuat mereka bersuka cita dan berbahagia. Artinya kasih mengubah orang menjadi lebih baik, mengubah kebencian menjadi cinta kasih.
  16. Maka pada pesta bona taon ini, kita sebagai orang yang menerima kasih Tuhan Yesus, diingatkan untuk berkomitmen sebelum meneruskan tahun 2009 ini agar dengan kasih karunia yang kita terima kita terbuka dalam kasih pada semua orang yang mengikat kita sebagai tubuh Kristus. Karena ibadah bona taon menjadi berdaya-guna dalam aktivitas hidup, ketika kita tidak menjadikan bona taon hanya silahturahmi antar satu marga atau karena itu yang terjadi bagi Batak perantauan, tetapi Pesta ini adalah saat membersihkan diri dari yang kurang baik dan memohon pada Tuhan agar diberkati sepanjang tahundengan keinginan bersatu dengan yang lain.
Dikhotbahkan pada ibadah Bona Taon Simanjuntak Sitolu Sada Ina, Surabaya-sekitarnya Feb 2008 dan telah diperbaharui.

Lukas 15,11-32

  1. Sonship = Hubungan ayah dan anak.
  2. Karakter sang Ayah :
    • Tidak diktator (ay 12b): ketika sang anak (bungsu) meminta yang patut jadi miliknya sebgai salah satu ahli waris, sang ayah memberikan sesuai dengan peraturan Jahudi bahwa warisan dapat dibagi seblum meninggal.
    • Sabar (ay 20): Dia Menerima anak yang kembali setelah jatuh miskin tanpa marah. Dia membiarkan semua berlalu tanpa sungut-sungut.
    • Penyanyang (ay 24): Dia merendahkan diri, mengejar sang anak untuk kembali dikasihi.
    • Ayah yang baik (ay.20b+22) : Dia mengusahakan/mengejar banyak harta untuk anaknya, dia mengusahakan/mengejar sang anak ketika kembali. (mengusahakan yang terbaik untuk anak-anaknya).
  3. Karakter Anak :
    • Tidak perduli (ay. 12a) L: meminta warisan padahal ayah belum meninggal,
    • Sombong (ay13): menjauh dari ayah, agar dia jauh dari pengawasan ayahnya
    • Lemah management (ay. 14-15): Seluruh harta warisan habis, karena ketidak mampuan mengelola uang yang diberikan sang ayah.
    • Mengenal diri (ay.17-21): Dia kembali kepada ayah tanpa berharap diberlakukan sebagai anak.
  4. Nats ini mengilhami seorang ayah yang mempunyi dua orang anak lelaki yang kecanduan narkoba. Setiap kali anak-anak nya kembali pada larut malam dengan keadaan yang tak sadar diri oleh karena mengkonsumsi narkona yang banyak, ayahnya menunggu di depan pintu. Dia menyambut mereka, menanyakan keadaan mereka bahkan menyuguhkan makanan dan berdoa bersama anak-anaknya. Aahnya mengasihi mereka lebih dari dirinya sendiri. Dia rela tidur jauh malam dan menunggu sambil dikerumuni nyamuk karena dia mengasihi anak-anaknya.
  5. Cinta, perhatian, kesabaran dan kebaikan sang ayah, mempengaruhi anak-anak tersebut, sehingga bermodalkan cinta sang ayah, mereka dapat berubah. Mereka meninggalkan segala jenis narkoba, dan kembali ke jalan benar dituntun cinta kasih sang ayah.
  6. Kasih selalu digerakkan belas kasihan (tergeraklah hatinya... ay. 20), terjadi bukan karena ada arus timbal balik. Dia mengalir begitu saja kepada tujuannya. Tidak dibuat-buat, dia muncul begitu objek cinta menyatakan diri. Oleh belas kasihan maka terjadilah pendamaian; Allah dalam diri Yesus mendamaikan diri dengan manusia, Allah merendahkan diri menjadi manusia, Allah menyambut pengakuan dosa kita dengan tangan terbuka, siap untuk merangkul dan mencium kita, Allah mengusahakan kebaikan bagi diri kita, mencukupkan apa yang menjadi kebutuhan kita dan mewariskan kerajaan surga bagi umat ciptaanNya, Allah menjadi kebaikan atas keburukan kita. Dalam cinta sejati tidak ada pembalasan, tidak ada demdam, yang ada hanya keinginan berbuat baik bagi orang yang menyakiti hati kita. (???)
  7. Persoalan muncul ketika manusia memahami cinta berbeda dengan Allah. Si sulung merasa, terjadi ketidak-adilan atas sikap penyambutan ayah yang berlebihan. Jika manusia memahami cinta terjadi karena ada arus timbal balik, du ut des : beri dan akan menerima, maka akan muncul kecemburuan jika sewaktu-waktu ada orang berbuat baik pada orang yang “jahat”. Kita akan melihat Allah sebagai Allah yang pilih kasih dan bersikap tidak adil ketika Dia mendatanagkan hujan dan memberi panas matahari pada orang yang baik dan yang jahat.
  8. Si sulung punya sudut pandang yang berbeda dengan ayah tentang si bungsu. Dia tidak berbelas kasih pada adik yang kurus kering, dekil dan kelihatan kesakiatan. Dia memahami itu setimpal dengan tindakannya menrima warisan, berfoya-foya dan menjadi budak orang lain bahkan untuk makan makanan babi pun dia tidak diperbolehkan.
  9. Ah... belum sejauh itu pengalaman dan ‘kejahatan’ku sebagai seorang anak, aku telah merasa berdosa pada ayahku yang sedang sakit sejak hari senin, 26 jan ’09. Aku menjadi tersentak, jikalau perbuatan yang menyakiti hati sang ayah. Tapi orang tua selalu ingin memberi yang terbaik bagi anak-anaknya. Ingin selalu membuka tangan atas pengakaun salah anak-anaknya, dan akan selalau mengampuni oleh karena cinta dan belas kasihan untuk mendukung hidup anak-anaknya.
  10. Itulah keluar-biasaan pemahaman sang ayah atas diri anak-anaknya. Tidak ada pilih kasih. Kebersamaan, telah menyatukan dia dengan anak sulungnya, tetapi sesuatu yang dianggap telah mati tiba-tiba muncul itu luar biasa membuatkegembiraan kita menjadi sempurna. Hubungan cinta kasih anak sulung dan aya sudah menggembirakan, walaupun si bungsu meninggalkan mereka, tetapi ketika yang pergi kembali, tiu cukup membuat kegembiraan semakin sempurna.
  11. Akhirnya satu hal yang kita pelajari adalah: bahwa mencintai membuat hati kita gembira, semangat kita bertambah, fisik kita semakin segar. Tapi hidup kita sering diisi denga kecemburuan dan dendam, sehingga membuat hati kita mengkerut karena kebencian, semangat lemah dan ketahanan fisik menurun, karena hati yang gembira adalah obat, tapi hati yang sedih meremukkan tulang-tulang.
  12. Nats ini menjadi sangat penting bagi kita untuk memaknai Doa Bapak kami dalam bait :’ampunilah dosa kami, seperti kami mengampuni orang yang bersalah kepada kami!

Kamis, 29 Januari 2009

Terapi dari Lukas 15, 11-32

Sejak senin (26 jan), kami mendengar kabar dari kampung, bahwa Bapa sakit, bagian perut. Hasilnya kemarin diketahui bahwa salah satu pembuluh darah antara jantung menuju perut, ada sebuah zat yang merusak, sehingga pembuluh darah tersebut membengkak. Sewaktu-waktu, bisa pecah bila terlalu banyak pikiran atau emosi tidak dapat dikontrol, dan sangat berbahaya. Rapat keluarga melalui telepon (dengan biaya TM=murah meriah), kami putusan supaya bapa di bawa berobat ke Medan sesuai rujukan dokter untuk menjalankan terapi, karena untuk operasi tidak mungkin dalam usia 76 tahun (4 Feb ’09 : Doakan ya supaya bapa kami boleh panjang umur!). Tapi saya bilang ke mama, intinya bapa harus tenang, jangan menambah beban pikiran. Maka mulailah mama menyemburkan uneg-unegnya tentang Dian keponakan kami yang selama ini tinggal bersama mereka, tiba-tiba bertingkah dan pulang ke rumah papanya, sehingga ompung menjadi kepikiran. Wuah...kakak dan adik saya mulai naik tensi atas prilaku Dian, bla....bla...bla... Saya bilang ke mamanya Dian, ‘kak, sampaikan pada Dian bahwa ompung sakit bukan soal fisik, tapi menyangkut emosi. Dia harus tahu, pendampingannya punya pengaruh banyak untuk kesehatan ompung’. Dan kaka sulung saya langsung memotong,’ ya, dia jangan bertingkah,..dst...dst...’ Tapi saya terus melanjutkan, katakan dengan penuh kasih sayang, jangan dengan marah sebab marah tidak menyelesaikan masalah. Saya pikir, kasih sayang mengalahkan tingkah laku yang jelek dari seorang remaja. Saya terinspirasi dengan seseorang yang melakukan perjalanan jauh. Beliau mengatakan dalam pesawat dia bertemu seorang ayah yang menceritakan dua orang anak lelakinya yang kecanduan narkoba. Ayah itu mencintai anaknya dengan sungguh-sungguh. Setiap kali sang anak pulang dalam keadaan mabok dan tidak sadar karena narkoba, ayah itu menyambutnya dengan kasih dan menanyakan, apakah si anak sudah makan?. Lalu sang ayah menemani anaknya makan dan berdoa bersama. Lama kelamaan anak itu menjadi sadar, bahwa ayahnya sangat mencintainya, dan kasih ayahnya membuat dia berhenti mengkonsumsi narkoba. Cinta kasih ayah menghentikan segala keinginan daging karena cinta lebih dalam dari apa yang menjadi kebutuhan kita. Ketika suatu waktu kami bertemu, beliau bertanya, ‘apakah ada kenyataan seperti itu?’ saya jawab itu terjadi untuk seorang anak yang hilang yang disambut oleh seorang ayah penyayang dalam alkitab. Kesimpulannya saya tahu, bahwa dunia ini akan semakin damai, semakin kuat bertahan dalam kebaikan jika semua mau memakai metode Lukas 15, 11-32, sebagai terapi untuk penyembuhan bagi orang-orang yang tidak dapat mengontrol keinginan dagingnya. Cinta kasih mengalahkan ambisi, egoisme dan kerakusan kita akan berbagai hal, karena dengan cinta kita semakin kuat melakukan yang baik. Benar kata kidung agung, bahwa cinta kuat seperti maut! Selamat menikmati Cinta kasih Tuhan, yang lebih luas dari dunia, lebih dalam dari laut dan lebih tinggi dari langit. Semonga Cinta kasih Tuhan yang tidak terbatas, menguatkan kita maalkaukan kebaikan dengan keterbatasan kita, selamat menyambut hari kasih sayang!

Gong Xi Fa Cai

Hari ini aku melintasi kota surabaya menuju SMK Negeri di Margorejo untuk memimpin ibadaha pesta bona taon Manurung dan boru, se-Surabaya. Sepanjang jalan kelihatan bernuansa merah dan tulisan dari huruf Cina yang saya pahami sebagai ucapan selamat tahun baru Cina bagi orang Cina di Surabaya. Karena kebetulan hari ini hari raya imlek. Sambil menikmati perjalanan, saya teringat teman saya, Ibu Debora, Pendeta Jemaat GUPDI di Solo dan Kel Drh. Liem dan Ibu santi di Magelang. Dua orang Cina yang benar-benar saya kagumi sepanjang perkenalan saya dengan mereka, karena pola hidup mereka, meskipun ada cinanya, tapi lebih ke-Indonesia-an. Saya tidak tahu apakah karena Bu Deb (demikian kami memanggil beliau di Pasca-Sarjana UKSW) menikah dengan orang pribumi? Yang pasti dia baik dan penuh perhatian serta murah hati. Saya jadi ingat khotbah tahun baru di HKBP. Kalau saya pikir, beliau cocok jadi KaDep Diakonia. Setiap imlek, saya selalau kirim SMS kepada Bu Deb,(tapi tahun ini tidak) untuk selalau mengingat kebaikannya. Ibu Debora adalah seorang kristen sejati, dia banyak berbuat baik bagi sesamanya sebagai wujud cinta kasih Yesus, tapi dia juga tidak menolak ketika saya kirim SMS dan mengucapkan Gong Xi Fa Cai padanya. Dia menerima ucapan itu sebagai keturunan Cina, tapi tahun barunya tetap tahun baru Masehi. Saya banyak belajar dari beliau, tentang memberi, menghargai budaya dan mencintai Kristus lebih dalam karena fokus seluruh cinta kasih di dunia adalah Yesus Kristus sumber Cinta. Aku menjadi semakin bersemangat untuk melayani bona taon hari ini, karena ingin menghadirkan Kristus di Punguan Manurung dengan menyatakan bahwa kita di tengah banyak persoalan yang kita hadapi, menjadi mampu melakukan segala hal, tidak hanya dalam adat dan keluarga, tapi juga mengatasi krisis ekonomi, bahkan segala hal persoalan hidup, karena Tuhan memberi kekuatan bagi kita (Filipi 4, 13). Imlek, bona Taon dan cinta kasih mata rantai yang mengajarkanku untuk memahami bahwa tahun baru adalah pembaharuan budi dalam Kristus menuju ke arah yang semakin baik, maka dengan tahun baru apapun itu, akan semakin memperbaharui kita melakukan cinta kasihNya. Selamat Imlek, Gong Xi Fa cai!

Minggu, 25 Januari 2009

Doa Pengampunan dan Dosa yang Berulang

Hari ini (Minggu, 25 Jan 2009), saya punya pengalaman yang sedikit lucu. Saya khotbah di salah satu Gereja HKBP di Resort Surabaya. Dalam acara ibadah liturgis mengalami beberapa kesalahan, dan suara jemaat kedengaran menyambut kesalahan itu dengan sedikit bisik-bisik yang sinis (mungkin sang liturgis sudah biasa berbuat salah, kale...). nah... persoalannya bukan pada kesalahan tersebut, tetapi setelah ibadah selesai, sang liturgis menutup dengan doa di ruang konsistori. Dengan hati sendu, beliau berdoa untuk dirinya sendiri mohon diampuni, dan dituntun oleh Roh Tuhan jika sedang menjadi liturgis pada ibadah minggu bahasa Indonesia, sehingga tidak melakukan kesalahan. Beliau juga mengaku bahwa mungkin itu karena masa lalunya yang kurang baik sehingga berdampak pada pelayanannya saat ini. Saya juga, sebagai Pendeta terenyuh mendengar doa pengakuan tersebut, dan saya dukung doa itu dalam hati, agar kiranya Roh hikmat memimpinnya setiap kali menjadi pemimpin ibadah. Tapi ironinya, setelah doa selesai, dan belum membuka jubah (baju tohonannya), dia sudah marah ke teman-temannya parhalado, beliau berkata:’jika saya tidak datang sermon hari jumat saya jangan ditugaskan sebagai liturgis, saya tidak ada persiapan’. Salah seorang dari majelis menjawab, ‘loh kan sudah ada jadwal, bisa dilihat kapan kita punya tugas’, yang lain juga berkata, ‘Pak Pendeta kan sudah memberitahukan bahwa bapak yang bertugas hari ini, kenapa tidak dipersiapkan?’ Dengan marah beliau berkata:’kalau saya tidak datang sermon, itu berarti saya punya banyak pekerjaan di kantor. Bisa saja saya pulang sore atau malam, seperti tadi malam saya pulang jam 11, maka tidak ada persiapan!’ masih banyak perdebatan lain mengenai hal itu. Saya hanya berpikir, bagaimana mungkin doa yang begitu khusuk kepada Tuhan, tapi hati penuh kemarahan pada sesama? Saya sering melihat orang yang begitu intim dan baik hubungannya kepada Tuhan, tetapi dia tidak punya intimitas yang baik pada sesamanya. Kita ingin diampuni oleh Tuhan atas kesalahan kita, tetapi kita tidak mau mengampuni atau minta ampun pada sesama. Saya jadi ingat pada teman saya di STT HKBP, Entelina Butarbutar, dia selalu bilang ke salah seorang teman kami yang cepat minta maaf tapi mengulang kesalahan lagi, dia bilang ‘kerjamu minta maaf saja, tapi terus melakukan kesalahan!’ kadang-kadang kita memahami sebagai seremonial belaka, sehingga kita sulit berubah dan melakukan kebaikan walau kita telah minta maaf. Kita berani berdoa sungguh-sungguh kepada Tuhan, tapi hati kita penuh amarah, seolah-olah Tuhan tidak melihat hati. Itulah hidup. Dan setelah saya hubungakan pengalaman itu dengan khotbah hari ini (Bilangan 22, 21-35), saya menjadi terkesan pada Bileam, begitu dia sadar atas kesalahannya, dia bersujud dan berubah, sehingga dia diizinkan pergi oleh Tuhan dengan syarat mau berubah ke arah yang semakin baik dan hanya melakuakan apa yang Tuhan perintahkan. Dan ini kesimpulan bagi saya, jika kita mohon pengampunan, dibutuhkan komitmen untuk konsisten pada keputusan tersebut. Diampuni supaya menjadi alat pengampunan Tuhan ditengah dunia. Selamat menerima pengampunan dari Tuhan!

Sabtu, 24 Januari 2009

Memberi dengan Tulus

Suatu masa pernah terjadi ternak babi (maaf) di Tapanuli Utara (waktu itu belum ada kabupaten Tabasa dan samosir) mati massal, maka banyak ubi rambat (sebagai makanan ternak tersebut) tidak lagi laku terjual. Peristiwa ini menjadi luar biasa, ketika seorang anggota jemaat datang ke rumah Pendetanya di Sarulla, Pahae. Jemaat tersebut dengan kelelahan membawa sekeranjang penuh ubi ke rumah pendeta tersebut dan berkata,”Amang pendeta, adong gadong huboan, loppa hamu asa adong allang-allangonmuna, alana nga mate sude babi nami, dang adong be mangallang”. Karena babinya semua sudah mati maka ia memberi makanan babi tersebut ke pendeta. Waktu saya mendengar cerita itu, puluhan tahun yang lalu dari teman saya, saya tertawa dengan hati teriris.

Suatu hari pada pesta Bona Taon Simanjuntak Sitolu Sada Ina, Boru, Bere, Yogyakarta, ‘marbona taon’ di kaliurang, seorang anggota punguan dari kelompok ibebere memberikan hasil lelangnya (kepala babi), ke suami saya yang kebetulan khotbah di bona taon tersebut, katanya “Amang Pendeta, kata beremu (istrinya), ini untuk amang Pendeta saja, karena di rumah tidak ada yang makan! (daripada dibuang, kasi aja ke Pendeta, hehehe). Saya juga pernah menerima satu tas kresek besar pakaian bekas anak-anak, katanya supaya ada dipakai anak-anak saya di rumah (apa selama ini tidak pakai baju ?!). selain itu, saya juga punya pengalaman memberi, Ketika pegawai negeri menerima jatah beras dari kantor, ibu saya selalau memberi berasnya pada keponakannya. Bila satu kali saya atau adik saya lupa atau terlambat mengantar, dia akan protes dan berkata, ’kenapa berasnya tidak diantar?’, seolah-olah itu kewajiaban kami. Setiap kali ada orang memberi, saya berusaha untuk tidak menolak, karena saya ingat pepatah orang Batak, ;hansit mulak manjalo unhansitan mulak mangalean (=sakit karena ditolak permintaan, lebih sakit bila pemberian ditolak).

Ketulusan sering tidak bisa kita pahami ketika orang memberi dengan kalimat yang menyinggung perasaan. Sejak itu saya selalu mengusahakan diri memberi tanpa kalimat, karena kadang-kadang maksud tulus bisa menjadi tidak berarti dengan kata-kata yang kita ucapkan, maka ketika saya menerima “jambar ni suhut” (ekor daging babi, yang diberi kepada tuan rumah kalau ada pesta), saya ingin menolak karena tidak ada yang makan di rumah, kebetulan ketiga anak saya kurang suka makan daging babi, saya dan suami keseringan makan saksang, apalagi awal tahun seperti sekarang ini. Tapi saya terima juga, kata suami saya, namanya ‘jambar’ ya harus diterima. Maka saya memberi ke salah seorang anggota jemaat dan saya katakan, “ini inang, bawa ke rumah untuk anak-anak”, ibu itu berusaha menolak, katanya, untuk inang Pendeta aja, dan saya mencari kata yang tepat untuk tidak menyinggung perasaan penerima, “saya kurang pintar masak inang, inang yang masak, nanti dibagi untuk kami ya”. Beliaupun menerima dengan gembira dan mengantarkan sebahagian ke rumah! Itulah memberi, mudah tapi sulit. Ketika anak saya Carol mendapat makanan dari teman sekelasnya yang kebetulan ulang tahun, seisi rumah menjadi seperti pecah perang. Dia memberi dengan banyak syarat yang membuat adiknya menangis karena tidak dapat mematuhi syarat tersebut, dan itu membuatku sebagai ibu menjadi naik pitam, karena si bungsu Jerry tidak dapat dibujuk untuk diam, dan Yohana, ikut menangis dengan tangisan adiknya, yang kedengaran sampai ke ruang sermon (kebetulan dinding konsistori, nempel ke dinding rumah kami), sehingga saya harus keluar dari ruang sermon, menghentikan keributan tersebut.

Belajar dari semua peristiwa itu, saya menjadi mengerti, ternyata sangat sulit untuk memberi, padahal Firman Tuhan dalam Lukas 6, 36, “hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu, adalah murah hati”. Murah hati tidak hanya sekedar mau memberi, tetapi harus dengan tulus, tidak ada embel-embel, tidak ada embargo karena melanggar syarat, tidak mengharap balas atas apa yang kita beri, sudahkah kita dapat seperti Bapa di surga? Ditengah-tengah krisis ekonomi, kita dipanggil untuk mendatangkan kesejahteraan orang yang ada disekitar kita, karena dengan demikian kita sedang mengusahakan kesejahteraan kita juga (Jeremia 7,29). Selamat bermurah hati!

Rabu, 21 Januari 2009

Waktu

Hari ini (Rabu, 21 Jan 2009), parhalado HKBP Dukuh Kupang, Surabaya, mengadakan perayaan Tahun Baru di Gedung serba guna, dihadiri oleh Sintua/keluarga (termasuk yang sudah pensiun), Pendeta Huria, Pendeta Resort dan Pendeta diperbantukan di Resort Surabaya. Acaranya sederhana dimulai dengan ibadah reflektif. Pendeta jemaat memulai renungan dari pengkhotbah 3,13-15 dengan refleksi tentang waktu, supaya umat Tuhan memakai waktunya dengan baik untuk membangun diri dan masyarakat sekitar dengan waktu yang diberikan Tuhan bagi kita. Maka apakah rencana kita dengan waktu 168 jam/minggu, setelah kita pakai 56 jam untuk tidur, 48 jam untuk kerja, 12 jam untuk makan, 15 jam untuk hobi, 1 jam untuk ibadah, 1 jam untuk PA + doa? Apakah masih wajar kita mengatakan ‘saya tidak sempat...?’ Tuhan memberi waktu bagi kita sesuai kebutuhan kita, tetapi kadang-kadang kita mengatakan kekurangan waktu. Luar baisa, masih kurang waktu ta? Mungkin itu yang membuat pemazmur mengatakan ajarlah kami menghitung hari-hari kami...., hingga kami beroleh hati yang bijaksana. Setelah itu Pak Pdt. Simanjuntak meminta tiga orang yang hadir memberikan refleksi tentang pertemuan tahun baru ini dengan kesimpulan: kebersamaan adalah dukungan bagi kita mengisi waktu pelayanan selama tahun 2009. Tahun baru menjadi semangat melakukan yang baik di tengan gereja Tuhan bagi jemaat dan masyarakat. Indah sekali ibadah jika kebersamaan dengan Tuhan dipahami sebagai wujud kebersamaan dengan sesama. Tetapi, mengapa masih banyak orang kristen masih mengelompokkan diri (in group) dengan yang seide dengannya? Mengapa ada yang membedakan, padahal Allah dalam diri Yesus memberi diri untuk membangun kebersamaan dengan umatNya, sementara umat yang diciptakanNya membuat jurang pemisah dengan sesamanya? Saya jadi ingat telepon seseorang kemarin bahwa dia di undangan ke suatu resepsi, dan bertanya; ‘uda di undang ta?’ suami saya bilang ‘tidak’, saya sambung, karena kami kurang kaya menjadi tulangnya, hehehe...., istilah jurtul parbeacukai do manang partambal ban? Bila saudara tadi dikategorikan ke kelompok perbeacukai dan yang lain ke kelompok partambal ban, maka di situlah terjadi pengelompokan dan perbedaan. Akhir dari pembatasan ini adalah curiga dan ketidaksenangan. Refleksi Pdt Batara Silalahi, setelah mengalami perjalanan waktu dia simpulkan; banyak diantara kita yang tidak dewasa dalam persahabatan dan perbedaan. Hehehe... ternyata perbedaan sangat mengganggu penatalayanan hambaNya di gereja dan masyarakat, maka benarlah refleksi tahun baru parhalado HKBP Dukuh Kupang, surabaya tahun ini, butuh kebersamaan supaya cerdas mengisi waktu yang diberikan Tuhan bagi kita; bagi kemuliaanNya dan kesejahteraan masyarakat di mana kita tinggal. Tapi bukan kebersamaan luar saja seperti kata sambutan dari seorang yang mewakili Sintua yang mengharap supaya jemaat senang karena parhalado bisa koor (istilah bangsa indonesia, menyeragamkan tetek-bengek), padahal yang perlu diseragamkan ialah cara pandang tentang hidup bersama Tuhan, hidup dalam mengisi waktu yang diberikan Tuhan bagi kita. Selamat mengisi waktu dengan baik!

Kamis, 15 Januari 2009

Uang dan Idealisme

uang bisa bikin orang mabuk kepayang,... uang...uang... Sangat luar biasa pengaruh uang akan kehidupan manusia. Menurut seorang filsuf Jerman, dahulu uang adalah alat tukar. Untuk menyekolahkan anak-anak butuh uang, untuk makan butuh uang, untuk ini dan itu butuh uang, tapi pada zaman ini uang tidak hanya alat tukar tetapi telah berubah menjadi alat prestise, bayangkan, lelaki gendut, pendek dan jelek, bisa menjadi paling tampan dan dikelilingi bidadari kalau dia punya uang. Tidak punya pengetahuan apa-apa pun akan ditanyai pendapatnya, karena dia punya uang. Pusing deh. Benar kata teman saya Pdt. Nurmaya Simanjuntak, ‘si A itu, adalah orang yang sangat idealis. Dia bisa berbicara luar biasa mengenai ide-ide briliannya, tetapi begitu bertemu dengan uang semua idealisme buyar...” wuahuuu. Pemikiran ini menjadi sangat penting ketika kemarin suami saya menerima SMS dari bendahara jemaat kami, St. Drs. D.E.M. Marbun , beliau bertanya: ”Amang St H, meminta warta jemaat kita tertanggal 07 Des 2008, apakah boleh saya beri?’ suami saya membalas SMS tersebut, dengan pendek: ‘ tidak usah amang!’. Kami heran ada apa? Terpaksa saya membuka kembali warta itu. Dan di sana ada tertulis dalam warta keuangan; terima warisan dari Ibu Bertha Pohan (alm) kepada Pdt. S. Simanjuntak, untuk disalurkan ke jemaat yang dipimpin. Ini yang menjadi akar persoalan, karena akhir-akhir ini banyak yang mempertanyakan ini pada kami, tentang uang sejumlah 10jt. Saya tidak tahu apakah kami salah memahami tulisan di envelope tersebut, atau kami terlalu idealis sehingga memberikan uang itu untuk Gereja HKBP Dukuh Kupang, Surabaya yang kebetulan jemaat yang dipimpin suami saya? Kenapa warta jemaat ini menjadi persoalan? Akhirnya, kami menemukan jawaban; ternyata ada pemahaman yang berbeda tentang warisan ini sehingga ada penerima menyalurkan ke tempat lain, bukan ke gereja yang dipimpinnya atau ke jemaat di mana mereka melanyani. Ah... padahal warta ini adalah laporan pada Tuhan untuk diketahui jemaat setempat, supaya mata iman melihat bahwa suatu saat pemilik yang tidak punya ahli waris dapat mewariskan hartanya ke Gereja, atau orang yang punya banyak duit yang membuat anaknya bertikai memperebutkan uang boleh memberinya ke Gereja, sehingga anak-anak tetap rukun. Atau sebaliknya terjadi, warisan ini menjadi preseden, bahwa jika ada yang mau memberi menjadi batal, karena warisan tidak sampai ke tujuan. Hehehe...tapi salah seorang anggota jemaat yang kebetulan semarga dengan kami memperingatkan kami, katanya: ‘nanti ada orang yang tidak suka pada bapauda karena memberi ke gereja’. Wah... warisan ini telah menyebar dan menjadi diskusi alot di kalangan jemaat, tapi tak seorang pun yang berani bertanya langsung ke pemberi warisan atau ke si penerima warisan. Uang memang punya pengaruh besar menentukan cara pandang orang tentang hidup dan makna kata, maka jadilah Indonesia salah satu negara terkorup karena semua berbeda dalam memahami uang negara. Nah...lantas gimana dengan uang apakah tidak perlu? Sangat perlu, tetapi ingatlah kata Timoteus, bahwa akar segala kejahatan adalah cinta akan uang. Uang bisa membuat orang berbeda melihat seseorang. Bayangkan saja karena uang ada yang membunuh, ada yang sikut menyikut, bahkan katanya karena uang penempatan tugas pun boleh kita pilih, karena uang sudah beredar dari bawah ke atas, dari samping ke samping, maka rusaklah sistim dan segala yang menyangkut kebaikan dan nilai moral manusia. Persahabatan pun menjadi dingin-dingin saja karena uang membuat konsep lain tentang arti sahabat. Akhirnya, perlu berpikir lebih cerdas, aku perlu uang, tapi aku tidak mau cinta uang, uang akan lari jika dikejar, tapi dia akan datang sendiri kalau itu sudah menjadi bagian yang sudah diperuntukkan Tuhan bagi kita. Aku ingat SMS abang saya hari minggu kemarin(11 jan ’09) demikian: “Adong ma sada keluarga burju mula ulaon, sude na sinarina (hepeng) disimpan do di bank. Alai ala ni holit na, ditaontaon do mandoit sira manang mangallang gulamo, hape nampuna bank i, dua hali sadari mangan di restoran, boha do i ale? (artinya kira-kira demikian: satu keluarga yang rajin bekerja menyimpan semua uangnya di bank, dia makan hanya dengan garam atau ikan asin setiap hari, padahal pemilik bank makan dua kali sehari di restoran. ???) hehehe... itulah uang membuat kita kurang cerdas dalam memaknai hidup. Maka pakailah uang dengan baik dan benar. Selamat mengelola uang anda!

"Jangan Takut, Aku menyertaimu!"

Saat perekonomian dunia belum membaik, saat makin banyaknya manusia resah akan hidupnya, saat perang Israel-Palestina makin menghabiskan perempuan dan anak-anak, saat itulah orang berharap bahwa tahun 2009 akan menjadi tahun berkat, tahun sukacita, tahun di mana dunia akan dipulihkan dari resesi ekonomi. Namun para ekonom masih memprediksi, bahwa tahun ini adalah tahun kelabu, karena perekonomian masih sulit dipulihkan. Mama Lorens bilang; masih banyak bencana darat, alut dan udara. Sepertinya beliau benar; bencana alam di Monokwari, kapal tenggelam di pelautan Pare-Pare. Mudah-mudahan hanya itu, tidak akan terjadi lagi bencana yang lain. Tapi masih menurut mama lorens, masih ada keributan pada proses PEMILU. Ini membuat banyak orang menjadi khawatir menjalani tahun ini, tapi politik ekonomi mulai membuat sebahagian orang bersukacita, BBM turun untuk ketiga kalinya, bayangkan, mulai 15 januari bensin kembali 4500rp/liter. Hai... ini baru luar biasa dalam waktu 1,5 bulan 3 kali bensin turun. Hehe.. yang solar baru dua kali dan minyak tanah, belum jelas, yang pasti organda harus siap menurunkan ongkos 10 %! Lalu sebahagian orang bertanya, sudahkah itu menjamin akan kesejahteraan kota? (hehehe kebetulan tahun ini di HKBP, tahun diakonia, tahun kepedulian, di mana, kesejahteraan kota menjadi kesejahteraanmu; Jer 7, 29). Huh... belum tentu, soalnya persoalan bukan hanya ekonomi, setelah keluar UU Pornografi, ketahuan ternyata remaja Indonesia 90 % tersangkut dalam pornografi dan 60 % ikut dalam tindak seksual dan luar biasanya menurut berita di radio 28 des 2008, ditemukan 20 remaja di Jakarta menjadi PSK sementara (selama liburan semester), hanya untuk membeli HP terbaru seharga 6jt. Makin rumit toh? Belum korupsi dan narkoba bisa dikupas tuntas datang lagi deh persoalan baru. Siapa ga takut, apalagi punya anak remaja? Pasti deng semua! Tapi menurut pemahaman iman adik saya meli: “bahwa Tuhan memakai keahlian masing-masing umatNya untuk lebih innovatif memperbaiki ekonomi mikro dan makro” artinya, masing-masing orang harus memakai talenta yang diberikan Tuhan untuk berjuang dari persoalan hidup yang makin rumit. Nah, berati bisa donk kita cepat pulih dari krisis ekonomi, moral dan iman, kalau kita percaya pada Tuhan yang mangatakan bahwa Dia tidak membiarkan kita tetap tinggal di kota yang penuh persoalan, kota pembuangan, tapi Dia membawa kita pulang, karena kasih setiaNya selalu berjalan menolong kita (Yeremia 37,3) dan sipa bekerja keras di tengah kehidupan yang sulit ini. Untuk itu, mari kita menyerahkan segala kekhawatiran kita padaNya, sebab Dia akan menyertai kita sampai akhir zaman! Percayalah padaNya dan lakukanlah yang baik, Tuhan akan memberi apa yang kamu minta dalam hatimu Mzm 37, 3-4. selamat berjuang dalam penyertaan Kristus!

Mangose Taon

Sebelum kekristenan masuk ke tanah Batak, ada tradisi ‘mangose taon’ bagi masyarakat batak, yang berarti upacara tahun baru. Pada acara ini ada “ibadah” panyucian (manguras oleh parbaringin = pemimpin ibadah orang batak), sehingga segala kesalahan masa lalu disucikan dengan memotong kerbau, sebagai kurban kepada dewa mula jadi na bolon. Maka pada acara itu terjadi pemulihan hubungan manusia dengan dewa, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam. Dengan demikian, diharapkan bahwa tanam padi dan panen dalam tahun itu sukses, karena pemulihan hubungan pada alam membuat tanah menjadi subur. Namun setelah kekristenan datang, upacara mangose taon’ mulai ditinggalkan. Kekristenan mulai diajarkan tentang kebenaran bahwa keselamatan hanya ada dalam Yesus Kristus. Tetapi nilai-nilai yang baik dari budaya itu diangkat, karena kemudian, HKBP membuat ibadah ucapan syukur pada tahun baru, sekaligus agar saat itu menjadi saat saling memaafkan antar anggota keluarga. Pada tahun baru juga masyarakat batak akan saling berkunjung ke rumah sauda-saudaranya. Namun setelah di perantauan, oleh karena jarak, waktu dan biaya, maka acara tahun baru diful-kan di suatu tempat dengan tradisi mar bona taon. Kalau menurut penelitian di Jakarta, asal muasal bona taon adalah untuk melepaskan rasa kangen dan silaturahmi antar sesama yang satu marga atau satu kampung. Perkembangan berikutnya bona taon menjadi pesta besar, yang diawali dengan ibadah dan diakhiri dengan manortor. Wah..bayangkan satu hari penuh kita habiskan di acara bona taon, tidak perduli sedikit atau banyak anggotanya, yang penting tiap marga harus mar-bona taon! Dan untuk tahun ini saya sudah mengikuti acara bona taon mulai tanggal 4 januari. 4 hari setelah tahun baru (ha??!). Hebatnya, masih 11 hari tahun 2009, saya telah mengikuti 4 bona taon marga dan parsahutaon. Dalam bona taon itu saya menemukan tiga hal :

1. Dengan bona taon diharapkan semua anggota itu hidup dalam persatuan (panitia meminta agar khotbah saya diambil dari mzm 133)

2. Ingin beromantisme tentang masa lalu ketika masih di kampung halaman (parsahutaon), sambil bercerita bagaimana dahulu, ketika marbinda, pergi mengantar makanan ke rumah tulang, dll.

3. Menjalin kekerabatan supaya makin akrab. (kebetulan marga kami, Tambunan pagaraji bona taon di Tretes, (sabtu-minggu). Semua membentuk kelompok dan bercerita mengenai kehidupan bersama. Anehnya, bukan antar keluarga, tapi satu keluarga. nah..., kangennya dilampiaskan di tempat yang jauh dari keramaian, jauh dari rumah dengan segala pekerjaan, jauh dari gangguan, karena mau hidup bersama menikmati alam yang indah sambil menjalin cinta kasih sesama umat.

Kesimpulannya, bona taon adalah untuk refresing, supaya persatuan makin kukuh. Itu berarti, meskipun bona taon membutuhkan banyak biaya, namun acara itu sangat diperlukan, bukan karena hingar bingarnya suara musik, tapi karena bona taon menjadi ajang berinteraksi, tempat curhat dengan saudara, menjalin hubungan yang makin akrab dengan sesama. Selamat Mar-Bona Taon!

Malam Kudus dan thun baru

24 des 08 saya mengirim sms hampir 100 untuk kerabat, rekan, jemaat dan “musuh”. Saya punya seorang “musuh” walaupun kami tidak MOU untuk saling “bermusuhan”. Dia hanya musuh dalam hati, karena tiba-tiba dia tidak mau ngomongin saya tanpa alasan yang jelas, tapi setiap ketemu, saya tetap memberi dia salam dan say helo, walaupun kadang-kadang dia tidak menjawab dan tidak menyalamku, itulah asal muasal ‘permusuhan’ kami; (hehehe... kata orang medan musuh ecek-ecek kog; anakku bilang, emang pendeta bisa musuhan ma?), SMS pertama saya kirim ke musuh saya tersebut, dan isi seluruh sms saya sama, demikian: Selamat Hari Natal 2008, “hiduplah dalam pendamaian dengan semua orang” Roma 12, 18 (tema Natal PGI 2008). Semua SMS saya mendapat jawaban kecuali dari ‘musuh’ saya tersebut, luar biasa, ketika khotbah-khotbah di gereja, punguan dan kantor-kantor marak dengan kata damai, damai saya tidak berbalas. Tapi saya ingat perkataan Rasul Paulus agar tidak jemu-jemu berbuat baik. Saya tidak berharap SMS saya dibalas, tapi saya berharap esok ada perdamaian antar umat yang sedang bertikai. Beberapa hari kemudian kami bertemu, saya memberi dia salam dan menerima salam saya. tetapi ketika mau pulang saya mau menyalamnya, dia membalikkan tubuhnya dan saya berpikir, gencatan senjata telah berakhir, perang mulai. Apakah ini pencobaan, padahal dalam khotbah saya pada malam kudus di HKBP Gunung Sinai, resort Diaspora, saya mengutip perkataan Malak surga kepada para gembala, bahwa natal adalah kerelaan untuk tetap berdiri tegak melakukan kebaikan dan menyatakan damai sejahtera, karena damai adalah gencatan senjata, maka jangan takut meski banyak penghalang kita untuk maju ke jalan salib, karena Kristus memberi kesukaan yang besar bagi semua bangsa, untuk kemuliaan bagi Bapa. Maka dengan malam kudus ini, kita maju dan jangan jemu menciptakan damai di tengah banyaknya pertikaian. Tapi saya tidak memusingkan itu. Hanya persoalan terjadi, ketika pada tahun Baru kami bertemu, (dan bagi orang Batak, tahun baru lebih luar biasa dari natal, tahun baru adalah saat bermaaf-maafan), saya mau menyalam, tapi senyumnya yang seolah-olah mengejek (jangan curiga bu!), membuatku teringat bahwa dia tidak menyalamku, dan itu membuatku putar haluan dan tidak menyalamnya. Sesaat saya puas, tapi berikutnya saya menjadi 4L (letih, lelah, lemah, dan lesu; istilah peng-amsal tulang kering karena iri hatiku: hati-hati osteoprosis!). Saya menyesal. Maka tahun baru saya menjadi tahu penyesalan, karena tahun 2009, saya awali dengan balas dendam, ketika orang-orang sedang bermaaf-maafan (aneh!). Itulah hidup, selalu kontradiktif. Kita masuk tahun baru, tapi prilaku tetap buruk. Saya jadi ingat dengan seorang anggota jemaat yang tidak menghadiri ibadah tahun baru. Saya tanya kenapa tidak gereja? Istrinya menjawab; “tadi malam, saudara-saudara kami datang, lalu minum-minum, tidurnya larut malam, ketiduran dan tidak ke gereja”. Aneh, bukankah dengan masuk ke tahun baru mestinya semua baru, termasuk cara pandang tentang hari esok? Tapi memang hidup kita selalu penuh perbedaan, sehingga hidup itu sering menjadi hidup yang ornamental, semua ingin serba baru, tapi prilaku tidak barubah, buruk seperti tahun yang lalu, selamat natal dan tahun baru, selamat berubah ke arah yang semakin baik!